Oleh : Sulthan Alfaraby, Mahasiswa Fakultas Sains dan Tekonologi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.
Suara Indonesia News. Ponsel saya berdering pada Sabtu (15/08/2020) pagi hari dan mendapatkan sebuah pesan yang berasal dari sebuah grup WhatsApp. Dari grup WhatsApp tersebut, ada seorang teman yang mengingatkan terkait agenda dari Pelajar Mahasiswa Aceh Barat (IPELMABAR) Banda Aceh yang akan mengadakan kegiatan silaturahmi pada hari Minggu (16/08/2020) di pulau paling barat Indonesia, yaitu Pulau Sabang Provinsi Aceh. Agenda tersebut merupakan salah satu agenda di tahun 2020 ini setelah Musyawarah Besar (Mubes) ke-19 sekaligus pemilihan Ketua Umum periode 2020-2022 yang sukses dilaksanakan di Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat. Setelah membaca pesan singkat tersebut, maka saya bersama teman-teman lainnya langsung mempersiapkan diri dan juga mencari perlengkapan yang harus dibawa untuk keberangkatan yang dimulai dari Ulee Lheue Kota Banda Aceh.
Setelah mempersiapkan diri dan perlengkapan yang harus dibawa, maka pada sore harinya kami langsung menuju ke salah satu Cafe yang ada di Kota Meulaboh untuk menghadiri undangan kegiatan berbagi bersama anak yatim untuk menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-75 tahun dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Barat. Perlengkapan yang sudah kami persiapkan untuk berangkat ke Kota Banda Aceh, ikut kami bawa ke acara Pemkab Aceh Barat tersebut. Setelah kegiatan usai yang diakhiri dengan makan bersama, maka kami putuskan untuk segera berangkat menuju Kota Banda Aceh sebelum malam tiba. Maklum, saya tidak ingin hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di saat hari mulai gelap. Misalnya kehujanan, aksi kejahatan dan juga kecelakaan yang rawan terjadi saat malam tiba. Apalagi, perjalanan dari Aceh Barat menuju Kota Banda Aceh harus melewati kawasan pegunungan dan juga sedang dalam suasana liburan yang kemungkinan akan menimbulkan arus lalu lintas yang meningkat drastis.
Kami berangkat sekitar pukul 18.00 Waktu Indonesia Barat (WIB) dan tiba di Kota Banda Aceh tepat pada pukul 23.00 WIB. Usai tiba, maka kami langsung bertemu pihak IPELMABAR Banda Aceh di salah satu Warung Kopi (Warkop) di Desa Limpok yang kerap ‘diduduki’ oleh para aktivis mahasiswa sekaligus meminta izin terkait kegiatan “Doa Bersama Sekaligus Peluncuran Sebuah Karya Opini” yang digagas oleh Dewan Pimpinan Pemuda Cinta Aceh (PCA). Karya opini yang berjudul “5 Tahun Perjalanan Tanpa Arah” tersebut, rencananya akan menjadi bagian terpenting dari sebuah buku perdana saya yang akan segera diluncurkan. Usai meminta serta kemudian diberikan izin oleh Ketua Umum IPELMABAR Banda Aceh terkait rencana kegiatan PCA, kami pun membahas mekanisme dan juga beberapa agenda yang akan segera dilaksanakan secara serentak di Sabang. Agenda yang dimaksud meliputi liburan sampai dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah untuk menambah wawasan.
Pada hari Minggu (16/08/2020) subuh, sekitar pukul 05.00 WIB, saya dan teman-teman pun segera bersiap dan menuju ke Pelabuhan Ule Lheue Kota Banda Aceh untuk berangkat ke Kota Sabang menggunakan Kapal Motor Penumpang (KMP) Tanjung Burang yang ‘melegenda’ tersebut. Sebelum memasuki KMP Tanjung Burang, kami langsung mengikuti pengecekan suhu oleh petugas di pelabuhan untuk memastikan bahwa para penumpang tidak ada gejala Covid-19 serta seluruh penumpang diwajibkan menggunakan masker. Usai tiba di dalam kapal, terlihat banyak penumpang yang duduk santai menikmati keindahan lautan dari atas kapal, menikmati aneka konsumsi di kantin mini kapal maupun beristirahat sejenak untuk menghilangkan keletihan. Saya pun langsung buru-buru memilih lokasi tempat untuk duduk agar tidak kepenuhan dan akhirnya saya menemukan sebuah kursi yang berada di paling pojok kapal atau tepat berada di sisi pagar besi kapal.
Sekitar 20 menit kemudian, seperti biasa kapal langsung berlayar yang sebelumnya ditandai dengan pengumuman resmi oleh petugas KMP Tanjung Burang melalui alat pengeras suara. Sejenak, saya langsung beristirahat sembari menikmati indahnya lautan biru kehijauan yang terhampar luas. Terlihat juga sekali-kali ikan melompat dengan ‘manjanya’ dari dalam lautan yang menambah kesan ‘hidup’ dan sangat menarik bagi setiap mata manusia yang memandangnya. Angin yang berhembus dengan sejuknya juga tak luput dari suasana yang begitu memikat ini, apalagi jika ditambah dengan mendengarkan salah satu musik kesukaan semisal “Ka Beudoh Hai Boh”. “Ah, tenang sekali hari Minggu ini”, ujar saya di dalam hati.
Sekitar kurang lebih 2 jam perjalanan dari Pelabuhan Ule Lheue, maka kapal akhirnya sampai di Pelabuhan Balohan Sabang. Setelah turun, kami langsung menggunakan jasa transportasi mobil yang mengantarkan kami ke salah satu rumah penginapan atau Home Stay milik masyarakat yang berada di Sabang. Sejenak, Home Stay ini memiliki nuansa yang mirip dengan desain arsitektur Belanda. Usut punya usut, ternyata dugaan saya benar bahwasanya bangunan Home Stay tersebut merupakan bekas bangunan Belanda.
Kami pun langsung masuk dan istirahat sejenak di salah satu kamar untuk menghilangkan rasa penat seharian yang sudah ‘mengerayangi’ seluruh tubuh. Usai beristirahat sejenak dan merapikan beberapa barang bawaan, kami langsung menuju ke Tugu Titik Nol Kilometer Indonesia. Pada kesempatan tersebut, maka saya selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan PCA langsung menggelar doa bersama untuk memperingati Hari Perdamaian Aceh yang ke-15 tahun sekaligus meluncurkan sebuah karya opini untuk melengkapi buku perdana saya yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Semoga saja tidak ada hambatan dalam penerbitan buku saya nantinya, karena ini merupakan niat tulus dari saya untuk bisa menyumbang pemikiran selaku generasi muda kepada masyarakat sesuai dengan tuntutan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sekitar pukul 22.00 WIB, saya memutuskan untuk ikut ‘berkeliling’ Kota Sabang bersama teman-teman untuk melihat-lihat keadaan sekitar dan juga sekaligus bernostalgia terhadap agenda Kuliah Lapangan (Kulap) Biologi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh pada tahun 2019 silam. Agenda Kulap tersebut kebetulan juga pernah diadakan selama beberapa hari di Sabang, tepatnya di kawasan pantai Goa Sarang.
Usai puas ‘berkeliling’ dan makan malam dengan menu ayam geprek yang gurih dengan balutan sambal cabai hijau ‘khas’ Kota Sabang sembari menikmati gemilangnya lampu jalanan yang berwarna-warni, udara sejuk dan keramaian di kota, maka kami memutuskan untuk kembali ke Home Stay. Usai tiba di Homes Stay, maka kami pun langsung beristirahat untuk ‘mengisi’ kembali energi yang telah lama terkuras. Kasur yang berwarna putih dan empuk juga ikut menemani gairah tidur nyenyak kami di malam hari. Pengingat alaram juga kami hidupkan di ponsel masing-masing, agar keesokan harinya tidak bangun terlambat dan ketinggalan salah satu momen terpenting yaitu mengunjungi tempat bersejarah seperti Benteng Jepang salah satunya. Kabarnya, Kota Sabang juga memiliki ribuan benteng bersejarah peninggalan Jepang yang sebagian di antaranya masih berdiri kokoh hingga kini. Hal ini, tentunya membuat kita agar semakin bersemangat untuk mengintip situs bersejarah di Kota Sabang sekaligus sebagai media pembelajaran positif yang bermanfaat ke depannya dengan balutan-balutan “Tempoe Doloe”.
Pagi hari (17/08/2020) pun telah tiba. Pada pagi yang cerah ini, niat kami untuk segera berlibur ke beberapa kawasan wisata pun sepertinya mendapat dukungan dari ‘alam semesta’ dikarenakan kami beruntung karena cuaca sedang tidak mendung pada saat itu. Beberapa kegiatan kunjungan di berbagai kawasan wisata seperti Goa Sarang, Pulau Rubiah serta tempat-tempat bersejarah seperti Benteng Jepang salah satunya juga sukses terlaksanakan. Di balik keseruan kunjungan demi kunjungan tersebut, ada sesuatu hal yang menurut saya sangat menarik untuk diceritakan kepada para pembaca, yaitu terkait indahnya panorama Benteng Jepang yang menjadi salah satu destinasi favorit saya. Benteng tersebut terlihat berada cukup tinggi di atas bukit kecil dan diharuskan untuk menaiki sebuah tangga yang terbuat dari beton agar bisa mengunjungi lokasi tersebut.
Langkah demi langkah kami lalui dengan perlahan, meskipun rasa kepenatan mulai merasuki tubuh akibat bepergian selama hampir sehari penuh. Ketika melihat di sisi kiri, maka saya melihat adanya sebuah ruang kosong yang merupakan bekas bangunan persembunyian tentara Jepang pada masa lampau. Di sisi kanan, terdapat turunan yang lumayan terjal dan dipenuhi oleh tumbuh-tumbuhan liar. Meskipun begitu, kawasan benteng ini dapat dikatakan masuk ke dalam kategori “Baik” dalam hal kebersihan dan juga kerapian. Hal ini tentunya sangatlah diperlukan, mengingat sebagian besar pendapatan masyarakat Kota Sabang berasal dari pariwisata. Bayangkan jika kawasan wisata kurang dirawat, maka akan timbul stigma negatif dari para wisatawan yang berkunjung dan hal ini tentunya akan menjadi ‘bumerang’ bagi Aceh kita ke depannya.
Usai melangkahkan kaki ke ‘puncak’ benteng, maka bisa dilihat adanya sebuah benda bersejarah peninggalan kekuasaan ‘Negeri Yakuza’ Jepang. Disebut sebagai ‘Negeri Yakuza’, dikarenakan negeri tersebut sangat terkenal dengan para mafia kelas kakap atau di sana biasanya disebut sebagai Yakuza. Jepang konon katanya sengaja membuat benteng tersebut yang berguna untuk menjaga serta mempertahankan stabilitas kekuasaannya di Kota Sabang pada masa lampau. Selain benteng, maka jika kita mengintip lebih jauh lagi ke dalam bangunan tersebut, maka kita akan melihat sebuah batangan besi yang merupakan benda paling ‘sakral’ dalam rangka mempertahankan stabilitas kekuasaan Jepang di masa lampau, yaitu sebuah meriam yang sangat panjang moncongnya. Benda tersebut terlihat mulai berkarat, tentunya hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah maupun generasi muda untuk ‘menilik’ permasalahan ini agar bisa terus merawat situs-situs bersejarah yang ada di Aceh. Tentunya, ini harus menjadi daftar ‘Pekerjaan Rumah’ bagi kita semua selaku generasi muda untuk lebih memperhatikan keberlangsungan situs-situs sejarah ini dan terus bersinergi dengan seluruh pihak demi terciptanya kawasan bersejarah maupun kawasan wisata yang terjaga secara kualitas agar nantinya situs-situs bersejarah ini bisa terus dinikmati dari generasi ke generasi yang akan datang.
Sekedar untuk diketahui, tempat-tempat bersejarah masa lampau sampai saat ini masih dapat ditemukan di Kota Sabang. Seperti halnya Benteng Jepang, yang merupakan salah satu tempat paling terkenal di Kota Sabang. Saya rasa, situs bersejarah tersebut haruslah mempunyai pemandu wisata atau pemberi edukasi yang selalu ‘menetap’ di lokasi tersebut. Jadi, jika ada wisatawan yang berhadir, maka si pemandu wisatawan atau pemberi edukasi terkait kesejarahan situs tersebut bisa menciptakan pembukaan ‘pola pikir’ baru bagi segenap pengunjung dari dalam maupun luar negeri. Tentunya, kita selalu berharap bahwasanya situs-situs sejarah di Aceh akan tetap selalu terkenang dalam sanubari para wisatawan ketika mereka kembali pulang ke daerahnya masing-masing. Feedbacknya, hal ini akan menjadikan Kota Sabang semakin eksis di mata dunia, baik secara nasional maupun internasional. Jika bukan kita yang merawat sejarah, lalu siapa lagi?