Ancaman Pidana Bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi

Ancaman Pidana Bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi

302 views
0
SHARE

Oleh : Hamma, S. Sy /Advokat/Pengacara/Konsultan Hukum.

Suara Indonesia News. Siapakah yang menerima sanksi akibat gratifikasi? Si penerima gratifikasi saja, pemberi gratifikasi atau keduanya?

Mari mengkaji Undang-undangnya, menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.

Pasal 5 UU Tipikor

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
  2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 12 UU Tipikor

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

  1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  2. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” disebutkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu:

  1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
  2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
  3. Menteri;
  4. Gubernur;
  5. Hakim;
  6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12B ayat [1] UU Tipikor). Secara logis, tidak mungkin dikatakan adanya suatu penyuapan apabila tidak ada pemberi suap dan penerima suap. Gratifikasi dan suap sebenarnya memiliki sedikit perbedaan, lebih lanjut dapat disimak artikel Perbedaan Antara Suap dengan Gratifikasi.

Adapun apa yang dimaksud dengan gratifikasi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor, sebagai berikut:

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Informasi lebih lanjut mengenai gratifikasi dapat dibaca dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”). Di dalam buku tersebut (hal. 19) diuraikan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu:

  1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.
  2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut.
  3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma.
  4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan.
  5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
  6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan.
  7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja.
  8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu.

Akan tetapi, menurut Pasal 12C ayat (1) UU Tipikor, gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK. Pelaporan tersebut paling lambat adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi (Pasal 12C ayat [2] UU Tipikor).

Jadi, ancaman hukuman pidana tidak hanya dikenakan kepada pelaku penerima gratifikasi saja, tetapi juga kepada pemberinya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY