Semangat Sumpah Pemuda Masih Tertahan di Ruang Elit

Semangat Sumpah Pemuda Masih Tertahan di Ruang Elit

148 views
0
SHARE

Opini Oleh: Ruslan,S.ip, 

MAMUJU, SUARA INDONESIA NEWS |  Secara makna, Hari Sumpah Pemuda seharusnya bukan sekadar peringatan historis, tetapi momentum untuk menegaskan kembali semangat perjuangan, persatuan, dan keberpihakan kepada rakyat. Kalau semangat itu tidak diwujudkan dalam kebijakan nyata seperti pemenuhan hak tenaga honorer, pemerataan kesejahteraan, dan pemberantasan korupsi maka nilai Sumpah Pemuda bisa terasa hampa, hanya seremonial belaka.

Apa yang kamu singgung soal “tikus-tikus DPR dan pejabat elit” juga menggambarkan krisis moral dan kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara. Banyak rakyat merasa perjuangan belum selesai karena:

Regulasi dan kebijakan sering lebih berpihak pada kepentingan elit daripada rakyat kecil.

Tenaga honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun belum mendapat keadilan dalam pengangkatan PPPK/ASN.

Korupsi dan penyalahgunaan jabatan masih merajalela, menyalahi semangat pengabdian untuk bangsa.

Jadi, benar  semangat Sumpah Pemuda baru bisa dikatakan hidup jika para pemimpin dan wakil rakyat sungguh memperjuangkan hak-hak rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.

“Sumpah Pemuda tidak cukup diucapkan, tapi harus diwujudkan — dalam keadilan bagi rakyat, keberpihakan pada yang lemah, dan keberanian melawan tikus-tikus kekuasaan yang menggerogoti bangsa.”

Hari ini bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Sumpah Pemuda, momentum bersejarah yang menegaskan tekad pemuda pada tahun 1928 untuk bersatu demi Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Namun, di tengah upacara dan pidato seremonial, suara rakyat kecil masih bergema lirih: “Apakah hak kami benar-benar diperjuangkan?”

Sudah 97 tahun sejak Sumpah Pemuda dikumandangkan, tetapi banyak rakyat menilai perjuangan itu belum benar-benar dirasakan. Di berbagai daerah, para tenaga honorer dan pekerja non-ASN masih menanti kepastian status, berharap kebijakan yang adil dan tidak tumpang tindih. “Kami sudah mengabdi belasan tahun, tapi nasib kami tergantung aturan yang terus berubah,” ujar salah satu tenaga honorer di Mamuju.

Di sisi lain, kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif dan pejabat elit terus menurun. Kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang terungkap belakangan ini semakin menegaskan adanya “tikus-tikus berdasi” yang masih nyaman di kursi kekuasaan. Sementara rakyat kecil terus berjuang, mereka justru menikmati fasilitas negara.

“Semangat Sumpah Pemuda seharusnya menjadi nyala moral, bukan hanya slogan tahunan,” kata salah seorang aktivis muda di Sulawesi Barat. Ia menegaskan, para pemuda masa kini tidak boleh hanya bangga dengan sejarah, tetapi harus berani menuntut keadilan sosial sebagaimana cita-cita para pendahulu.

Di tengah berbagai tantangan itu, masih ada secercah harapan. Gerakan komunitas, tenaga pendidik, tenaga kesehatan, dan aktivis muda terus menyalakan semangat perubahan lewat aksi sosial, advokasi kebijakan publik, hingga kampanye digital. Mereka percaya, meski perlahan, perubahan tetap mungkin terjadi, asal semangat pemuda tidak padam.

“Sumpah Pemuda hari ini bukan hanya tentang satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Tapi juga tentang satu tekad: memperjuangkan hak rakyat tanpa takut, tanpa pamrih.”Mamuju, 28 Oktober 2025.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY