Oleh : Hamma,S.Sy., (Konsultan Hukum)
Suara Indonesia News. Terdapat beberapa instrumen yang sangat penting dan harus dioptimalkan semaksimal mungkin dalam rangka menyelesaikan problem kemiskinan umat, yaitu”
- peran lembaga pengelola Zakat,
- profesionalisme lembaga pengelola Zakat,
- dan peran pemerintah dan masyarakat.
Signifikasi zakat tidak boleh diberlakukan semata-mata sebagai rukun Islam tetapi harus dilihat dalam hubungannya dengan efek sosial dan ekonomi, sebab muatan zakat adalah muatan sosial. Tiga instrumen ini didasarkan atas fakta yang terjadi di lndonesia, bahwa masih banyak beberapa faktor yang menghambat, pertama” eksistensi lembaga pengelola zakat sebelum kelahiran Undang-undang No.33 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, kedua” profesionalisme lembaga pengelola zakat, ketiga” mengenai kurangnya pendidikan mengenai zakat di masyarakat termasuk kurikulum mengenai zakat di lembaga pendidikan yang belum memenuhi standar kontemporer.
Ketiga peran strategis itu bisa diuraikan sebagai berikut, yaitu”
(1) pertama, dapat diperjelas mengenai bentuk serta kedudukan hukum lembaga yang bertanggung jawab mengenai pengumpulan zakat setelah lahirnya Undang-undang maka jelas diketahui lembaga-lembaga tersebut adalah BAZNAS (bersifat Pemerintah) dan LAZIS, hal ini penting, karena jika tidak, maka lembaga-lembaga zakat tidak akan efektif dalam mengelola zakat, padahal masyarakat miskin sangat membutuhkan zakat, karena itu pemerintah wajib Melakukan Administrasi Pengelolaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat memperjelas status undang-undang pengelolaan zakat agar dapat menjadi pedoman dan sandaran bagi pengelola zakat sehingga tidak dianggap melanggar hukum zakat sebab dalam perspektif legalitas hukum, zakat memang lebih baik dikelola oleh pemerintah atau negara sebagaimana dibuktikan pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafa al-Rasyiddin, artinya pemerintah harus bertanggung jawab dalam kesejahteraan masyarakat dan menjamin pelaksanaan keagamaan masyarakat.
(2) Kedua, melakukan restrukturisasi dan revitalisasi lembaga-lembaga pengelola zakat baik BAZNAS maupun LAZ dengan cara memperbaiki kinerja dan manajemen yang lebih profesional sehingga mampu mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan Agama.
(3) Ketiga, pemerintah harus gencar memberdayakan masyarakat melalui BAZNAS sebagai sumber pengumpul dana masyarakat sehingga BAZNAS bisa mengimplemetasikan kebijakan pendistribusiannya kepada masyarakat melalui lembaga-lembaga sosial keagamaan, agar kebutuhan mustahiq masyarakat dapat terakomodir dengan baik dan dapat lebih memberdayakan lembaga-lembaga tersebut. Meminjam definisi Anang Arif Susanto bahwa Zakat adalah kebijakan alternatif anti kesenjangan dan anti kemiskinan dan proses pemberdayaannya harus terus dijalankan oleh berbagai pihak demi terciptanya masyarakat yang sejahtera. Strategi Pemberdayaan Umat Secara sederhana pemberdayaan umat dapat diartikan sebagai upaya membangkitkan potensi umat Islam ke arah yang lebih baik dalam kehidupan sosial, politik dan ekonominya.
Zakat secara irnplementatif lebih erat berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi. Adalah bukan sekedar isu, tetapi merupakan kenyataan yang sulit dipungkiri bahwa selama ini ekonomi umat Islam kurang menggembirakan, kalau tidak disebut memprihatinkan. Adalah “Aib sosial” yang perlu ditobatkan dengan membuat langkah-langkah strategis, ketika ada kenyataan bahwa umat Islam sebagai penduduk mayoritas bangsa ini justru minoritas dalam kekuatan ekonominya, dan malah terpinggirkan. Maka tak harus ditunda lagi tentang perlunya menggali “harta agama”. Artinya harta bagi kekuatan umat Islam yang digali berdasarkan perintah Allah SWT. maupun berdasarkan petunjuk Rasullullah SAW. “Harta Agama” yang paling dekat adalah harta yang digali dari zakat.
Sebagai kewajiban yang harus ditunaikan terutama bagi muslim yang telah memenuhi nishab. Penggalian “harta agama” berupa zakat punya dua sisi yang menguntungkan. Yang tentu berbeda dengan penggalian harta di luar “harta agama” dalam prespektif Islam yang kadang merugikan salah satu pihak. Pertama, zakat mempunyai keuntungan bagi mereka yang menunaikan (membayarnya) berupa kebersihan jiwa dan kebersihan bathin (Q.S. 9: 103). Di samping Al-Qur’an menyebutnya sebagai ibadah kedua setelah shalat (QS. 2: 43). Kedua, Allah menjamin akan mengantinya dan malah akan mensukseskan bisnis muzakki yang bersangkutan. Sedangkan bagi mereka yang menerimanya pasti akan mendapat keuntungan dan merasa senang hati (QS. 9 :59) karena ia merasa mendapatkan pertolongan dari bahaya kelaparan dan kemelaratan berkepanjangan dan dalam kondisi ini akan terwujud keadilan sosial yang kita dambakan.
Lebih jauh, seperti pernah diungkapkan Umar r.a: “Apabila kamu memberikan zakat, maka berikanlah sehingga orang-orang yang menerimanya memproleh kecukupan”. Kecukupan merupakan keuntungan maksimal bagi para penerima zakat, ditengah para pemberi zakat yang mungkin hidup dalam kemewahan. Dengan demikian, zakat memang tidak mungkin untuk mendongkrak terwujudnya pemerataan perolehan harta yang bersifat sama jumlahnya. Terlebih teori di luar Islam yang dalam teorinya mewujudkan persamaan sama rata sama rasa, sebenarnya hanyalah merupakan mimpi belaka, dan malah menentang kenyataan sunnatullah.