Suara Indonesia News – Sorong, Lawyer bersertifikat anak sekaligus akademisi, Mulyadi Golap S.H M.H angkat bicara terkait tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sorong selama 4 bulan terhadap terdakwa kekerasan terhadap anak di bawah umur, Noval Ajuan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Sorong, beberapa hari lalu.
Berdasarkan klausul pasal 80 Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, tuntutan itu tidak memenuhi syarat, seharusnya Jaksa mempertimbangkan sanksi 3 tahun 6 bulan, kita tidak tahu tuntutan 4 bulan itu atas dasar apa dan kami menilai tuntutan jaksa banyak kejanggalan,”ujar Golap saat ditemui Jurnalis di kediamannya Jalan Pendidikan Kota Sorong, kemarin (27/06-19)
Perihal alasan ada bukti yang tidak memadai, menurut Golap, seharusnya jaksa memahami sejak awal sehingga perkara tidak berlanjut ke tahap persidangan, Harusnya kan sejak awal jaksa mengembalikan berkas perkara ke penyidik dan sampaikan bahwa Ini ada kekeliruan dan ini sangat terlihat tidak profesional” tegasnya.
Lanjut Golap Sapaan akrab Lawyer dan juga akademisi ini, yang perlu dipertanyakan adalah apakah jaksa yang bersangkutan sudah bersertifikat anak atau belum, karena sesuai dengan amanah undang – undang, terhitung Juli 2019 semua penegak hukum yang menangani perkara anak harus bersertifikat anak dan jika belum bersertifikat anak maka sistim peradilan terhadap anak tidak berjalan efektif.
Kemudian Golap juga mempertanyakan apakah dalam kasus tersebut juga dilibatkan pekerja sosial (peksos) yang tugasnya sesuai UU Perlindungan Anak membuat laporan sosial (lapsos) yang digunakan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Jika tidak ada peksos maka tidak akan diketahui riwayat psikis dan fisik korban, Peksos ini merupakan pihak terkait dalam menyelesaikan kasus anak, pihak-pihak terkait ini dalah polisi, jaksa, hakim, pengacara, pk bapas dan peksos. Pihak terkait bertugas berbeda-beda namun dalam satu sistim dan bersinergi bersama dalam menyelesaikan kasus anak. Dan sesuai UU sistim peradilan terhadap anak (SPPA) korban ini wajib didampingi peksos dalam tahap pemeriksaan manapun,”paparnya.
Dicecar dalam proses pemeriksaan korban, jaksa dan hakim menggunakan toga, ia menjelaskan bahwa sesuai UU No. 11 tahun 2012 tentang SPPA penegak hukum hukum tidak diperbolehkan menggunakan toga atau atribut kedinasan. Hal ini pun tertuang di dalam Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor SE-007/A/JA/10/2016 tentang perlindungan terhadap anak korban kekerasan.
Dalam kasus anak, hakim yang memeriksa dan memutus perkara adalah hakim tunggal sesuai pasal 44 ayat 1 UU SPPA. Perlu dipahami juga dan dalam peraturan perundang-undangan jika penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan pengacara yang menangani perkara anak menyelahgunakan kewenangan maka dapat diproses pidana dengan ancaman 2 tahun penjara,”tukasnya.
Di sini hakim bukan sebagai penegak hukum ya, akan tetapi hakim adalam penegak keadilan yang memutus berlandaskan keadilan sesuai perundang-undangan.
Dalam putusan hakim juga harus mempertimbangkan hal restitusi (ganti rugi) dari pelaku ke korban, logikanya bahwa di mana UU Perlindungan Anak yang merupakan undang-undang khusus akan tetapi jaksa hanya menuntut terdakwa 4 bulan, ini kan bukan TIPIRING atau Tindak Pidana Ringan, apakah supaya hakim putus bebas? “Tandas dosen fakultas hukum di salah satu Universitas yang ada di Kota Sorong ini.
Diwartakan sebelumnya, Noval Ajuan diseret ke meja hijau PN Sorong setelah menganiaya korban AFR (16) pada Senin 11 Desember 2018 di Jalan Selat Sagawin, Kelurahan Remu Utara Kota Sorong, tepatnya di depan warung gorengan Batem.
Atas perbuatannya, terdakwa dijerat pasal 80 junto (jo) pasal 76 C Undang-Undang (UU) No.17 tahun 2016 tentang peneratapan Perppu No. 01 tahun 2016, tentang perubahan kedua atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.(Sam’Mad)