Suara Indonesia News – Aceh Utara, Puluhan Pemuda yang berasal beberapa gampong di Kecamatan Geureudong Pase, Kabupaten Aceh Utara, menghentikan truck pengangkut alat berat (exavator) milik PT. RPPI kemudian digunakan untuk memasang spanduk penolakan terhadap aktivitas perusahan pemegang izin HTI (Hutan Tanaman Industri) tersebut di Simpang Empat Keude Mbang, Gampong Dayah Seupeng, kecamatan setempat, sekitar pukul 01.30 WIB dini hari tadi, Senin (26/08/2019).
Aksi tersebut berlangsung damai dan persuasif dan supir truck trado yang mengangkut alat berat itu pun cukup kooperatif dengan permintaan warga setempat, sebagaimana dilaporkan oleh Ibnu Hasyim, salah seorang tokoh masyarakat Kecamatan Geureudong Pase kepada awak media.
Diceritakannya, semula sekitar lima puluhan lebih pemuda berkumpul di Keude Mbang membahas rencana rapat dengan MUSPIKA dan para tokoh masyarakat yang direncanakan akan dilaksanakan di pagi hari yang sama, dan selanjutnya usai rapat mereka bergerak hendak memasang spanduk penolakan PT. RPPI di perempatan Keude Mbang yang juga merupakan ibukota Kecamatan Geureudong Pase.
Awalnya warga agak kelimpungan memikirkan cara memasang spanduk di posisi ketinggian antara tiang listrik dan atap ruko. Pucuk dicinta ulam pun tiba, tanpa diduga sejurus kemudian lewatlah truck pengangkut alat berat milik PT. RPPI dan warga berinisiatif menyetopnya untuk dinaiki memasang spanduk dimaksud, kata Lambeusoe, sapaan akrab Ibnu Hasyim.
Tidak ada cekcok atau ribut-ribut dalam aksi spontan itu. Warga menghentikan truck tersebut dengan santun, lalu setelah selesai digunakan untuk memasang spanduk mereka pun dipersilahkan melanjutkan perjalannya ke lokasi PT. RPPI, terang Lambeusoe mengakhiri kisahnya.
Kejadian tersebut terjadi persis satu hari pasca Staf Khusus Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al-Haythar, Harun Thaib, mengecek lokasi usaha PT Rencong Pulp and Paper Industry (RPPI), di Gampong Pulo Meuria, Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, Sabtu lalu, (24/08/2019).
Sebagaimana dilaporkan salah satu media online lokal, Harun Thaib atau akrab disapa Tgk. Harun Pineng itu menemukan tumpukan kayu di sejumlah titik. Dia mendesak pemerintah segera menghentikan aktivitas perusahaan tersebut. Pasalnya, perambahan hutan dikhawatirkan menimbulkan banjir besar yang merugikan masyarakat dan daerah.
Harun Thaib alias Tgk. Harun Pineung kepada para wartawan menjelaskan, Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al-Haythar menerima informasi dari masyarakat bahwa hutan di sekitar Gampong Pulo Meuria, kawasan usaha PT RPPI sudah gundul. Dan beliau (Malik Mahmud) memerintahkan saya untuk mengecek ke lapangan, apa yang sebenarnya terjadi, makanya kita turun langsung untuk melihat, ujar Staf Khusus Wali Nanggroe Aceh itu.
“Ternyata setelah kita datang ke sini, ada jalan lumayan bagus dan tumpukan kayu cukup banyak. Akan tetapi, ada beberapa tempat yang tidak bisa kita lalui karena ada pengamanan sehingga menjadi sedikit kendala,” kata. Harun Thaib usai meninjau kawasan operasional PT RPPI itu.
Harun Thaib melanjutkan, “Hasil peninjauan ke lapangan, kita menemukan empat titik tumpukan kayu hasil penebangan. Tapi ada satu titik (lokasi) tampak kayu-kayu besar, tidak bisa kita masuk atau lewati karena tidak diberi izin masuk, hanya melihat begitu saja (dari kejauhan) sehingga kita tidak merasa puas.
Harun Thaib menilai penebangan pohon di kawasan hutan tersebut akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan. Karena akan berimbas terhadap terjadinya banjir (saat musim hujan). Jika beribu hektare dirambah hutan seperti ini maka dikhawatirkan ke depan beberapa kecamatan di Aceh Utara sampai Lhokseumawe akan tenggelam, ujarnya.
“Dalam hal ini Wali Nanggroe Aceh pernah menyampaikan kepada saya, bahwa masa konflik Aceh dulu di kawasan hutan ini cukup aman (tidak terjadi perambahan hutan), mengapa ketika Aceh sudah aman (damai) terjadi hutan gundul. Jadi, saya meninjau langsung ke lokasi ini (PT RPPI) berdasarkan arahan dari Wali Nanggroe untuk segera mencari siapa puncanya (pelaku), dan masyarakat sekitar pun sudah mengetahui yaitu PT RPPI. Nantinya,, yang kita sampaikan kepada Wali Nanggroe yaitu lokasi itu (temuan di empat titik) saja,” ungkap Harun Thaib.
Harun Thaib menambahkan, Wali Nanggroe Aceh dari dulu tidak sepakat dengan itu (penebangan pohon), karena rakyat pun sudah tahu semua bagaimana dampak dari perambahan hutan. Kalau pun ada sebagian masyarakat yang ambil (kayu), mereka kan ambil cuma sedikit saja dan tidak dalam areal besar (luas), itu pun prosesnya lama. Jika pihak perusahaan yang mengambil, alatnya canggih-canggih dan sebentar saja hutan sudah gundul.
Menurut Harun Thaib, Wali Nanggroe Aceh berharap aktivitas PT RPPI itu segera dihentikan. Apalagi, kata Harun Thaib, banyak kalangan baik masyarakat maupun mahasiswa dan aktivis LSM meminta penguasa di Aceh secepatnya menghentikan operasional perusahaan tersebut terkait penebangan pohon dalam hutan di pedalaman Geureudong Pase. Bahkan, beberapa waktu lalu, anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman alias Haji Uma juga sudah turun mengecek lokasi usaha PT RPPI itu.
“Kita mengharapkan pemerintah atau unsur terkait yang terlibat harus segera menghentikan aktivitas PT RPPI. Jadi, pihak berkuasa (penguasa) atau pemerintah harus menghentikan perambahan hutan tersebut,” tegas Harun Thaib.
Salah seorang warga Geureudong Pase, Rusli, kepada para wartawan, mengatakan penebangan pohon di lokasi usaha PT RPPI meresahkan masyarakat karena dampaknya akan terjadi banjir. Setahu saya PT RPPI itu beroperasi kurang lebih sudah dua tahun, dan pertama kali mereka masuk ke sini kita sebagai warga tidak mengetahui soal keberadaannya itu,” ujar Rusli yang ikut dalam rombongan Harun Thaib.
Menurut catatan media ini, sudah cukup banyak pihak yang menyuarakan pencabutan izin PT. RPPI tersebut, baik dari unsur masyarakat, kalangan mahasiswa, LSM dan juga Anggota DPD RI asal Aceh (H. Sudirman), karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip perizinan HTI, mengingat kawasan tersebut masih terhitung hutan produktif dan merupakan kawasan penyangga DAS (Daerah Aliran Sungai) serta tempat bagi satwa liar yang dilindungi, seperti gajah sumatera, harimau sumatera dan lain-lain.
Meski demikian, belum ada tanggapan resmi dari pihak Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh selaku pihak yang mengeluarkan izin terhadap Perusahaan Asing tersebut. (Manzahari)