Suara Indonesia News|Aceh. Sebuah keputusan administratif yang dikeluarkan secara diam-diam oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia memantik reaksi keras dari masyarakat Aceh. (15/06-25)
Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, Menteri Tito Karnavian menetapkan empat pulau Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar (Gadang), dan Pulau Mangkir Kecil (Ketek) sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Padahal, selama ini keempat pulau tersebut telah tercatat secara administratif sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
Dewan Energi Mahasiswa Aceh (DEM Aceh) dengan tegas mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk segera mengembalikan keempat pulau tersebut ke wilayah administrasi Aceh.
Perubahan sepihak ini tidak hanya menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius terkait mekanisme dan dasar pengambilan keputusan oleh pemerintah pusat.
Presiden DEM Aceh, Faizar Rianda, menyatakan bahwa klaim administratif yang hanya berdasar pada data geospasial tidak bisa menghapus fakta sosial, sejarah kependudukan, dan keterikatan budaya masyarakat yang telah hidup di wilayah tersebut selama puluhan tahun.
“Kementerian Dalam Negeri seharusnya bersikap bijak dan peka terhadap dinamika sosial yang telah lama tumbuh di kawasan ini. Pengambilan keputusan administratif yang tidak partisipatif justru berpotensi mencederai rasa keadilan dan memicu kegaduhan,” ujar Faizar dalam pernyataan resminya kepada wartawan, Jumat pekan ini.
Lebih jauh, DEM Aceh menyoroti kemungkinan adanya keterkaitan strategis antara keempat pulau tersebut dengan wilayah eksplorasi migas Blok Singkil (Offshore West Aceh/OSWA), yang saat ini berada di bawah pengelolaan Conrad Asia Energy. Berdasarkan peta eksplorasi yang dirilis Conrad pada Februari 2024, wilayah Singkil tercatat memiliki potensi gas alam dengan estimasi probabilitas: P90 sebesar 45 BSCF, P50 sebesar 75 BSCF, dan P10 sebesar 83 BSCF. Estimasi ini mencerminkan berbagai tingkat keyakinan dari konservatif hingga optimistis atas potensi cadangan tersebut.
“Meskipun empat pulau tersebut tidak termasuk langsung ke dalam area temuan potensi gas, letak geografisnya yang sangat berdekatan menimbulkan pertanyaan atas urgensi pengalihan administratif wilayah ini ke Sumatera Utara,” kata Faizar.
Ia menambahkan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah studi bersama (joint study) untuk penilaian eksplorasi lanjutan, sehingga letaknya yang strategis tidak bisa diabaikan.
“Karena letaknya strategis, pengalihan ini terasa janggal dan sulit dipisahkan dari isu pengelolaan sumber daya alam,” tegasnya.
Meski begitu, Faizar mengingatkan bahwa dalam dunia eksplorasi migas, potensi semata tidak bisa dijadikan dasar kebijakan strategis tanpa kajian geologi yang mendalam dan verifikasi terhadap asumsi cadangan. Estimasi gas sebesar 45 hingga 83 BSCF memang menarik di atas kertas, tetapi masih bersifat probabilistik dan belum tentu memenuhi syarat sebagai penemuan yang layak dikomersialkan.
Selain itu, meskipun potensi energi tersebut terbukti nyata, proses menuju tahap produksi masih membutuhkan waktu bertahun-tahun—meliputi studi lanjutan, pengeboran eksplorasi, evaluasi keekonomian, dan tahap pengembangan.
Lebih dari sekadar soal migas, Faizar menekankan bahwa kekayaan alam Aceh tidak terbatas pada energi fosil, tetapi juga mencakup tanah, air, hutan, dan biodiversitas laut. Semua itu, menurutnya, adalah bagian dari entitas geostrategis Aceh yang tidak bisa dipisahkan atau dikotak-kotakkan secara teknokratis.
“Sumber daya alam tidak hanya terbatas pada energi fosil seperti minyak dan gas, atau energi terbarukan. Kekayaan biotik dan abiotik seperti tanah, air, hutan, serta keanekaragaman hayati juga merupakan bagian penting dari sumber daya alam yang memiliki nilai strategis bagi Aceh,” ujar Faizar.
Oleh karena itu, polemik pengalihan empat pulau ini, kata Faizar, bukan semata soal batas wilayah administratif, melainkan menyangkut isu kedaulatan energi, ekonomi, dan lingkungan hidup Aceh di masa depan.
Secara historis, geografis, dan yuridis, keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Aceh. Negara, dalam hal ini pemerintah pusat, harus hadir dengan sikap tegas dan adil. Bukan menengahi seolah ini sekadar perbedaan pandangan, tetapi menegakkan kembali batas yang sah sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh.
“Pulau-pulau ini bukan titik di koordinat, tetapi denyut jantung peradaban yang tak bisa dihapus dengan surat keputusan. Dan bila harus berlayar kembali demi mempertahankan kedamaian yang lahir dari luka sejarah, maka rakyat Aceh akan kembali bersuara.
Sebab kedaulatan bukan untuk ditukar, melainkan untuk dijaga, meskipun nantinya tidak ada potensi migas di dalamnya, ini tetap hak Aceh,” ucap Faizar.
Isu ini semakin mempertegas kerentanan Aceh terhadap kebijakan pusat yang dianggap kerap mengabaikan konteks lokal. Dalam sejarah panjang konflik Aceh, penguasaan atas tanah dan sumber daya selalu menjadi pemicu utama. Maka, ketika kabar pengalihan wilayah ini mencuat, reaksi keras dari kelompok sipil seperti DEM Aceh adalah hal yang tak mengejutkan.
Sebagai penutup, Faizar mengingatkan pemerintah pusat agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu.
“Kedamaian Aceh bukan hadiah. Ia buah dari perjuangan panjang dan kesepakatan politik yang sah. Jangan ada kebijakan yang mengusik stabilitas ini. Jangan bangkitkan trauma atas nama efisiensi administratif. (Wandy ccp)