Suara Indonesia News – Indramayu. Meski sudah ada aturan dan regulasi yang mengatur tentang besaran biaya nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA). Namun aturan tersebut sekan di abaikan oleh oknum yang tak bertanggung jawab. Pasalnya, hampir semua masyarakat di kabupaten Indramayu harus membayar sejumlah uang pada saat mendaftarkan pernikahannya.
Padahal, sudah jelas dan gamblang, bahkan terpampang tulisan dalam tabel hampir di semua KUA di kabupaten Indramayu mengenai tarif biaya nikah. Dalam tabel tertulis, Biaya nikah diluar kantor dan diluar jam kantor Rp. 600 ribu sedangkan biaya nikah di dalam kantor dan jam kantor Rp. O,- tulisan tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2015.
Namun, peraturan tersebut masih saja diabaikan oleh oknum yang mau mencari keuntungan.
Seperti yang terjadi di salah satu KUA di kabupaten Indramayu Jawa Barat.
Seorang oknum modin / lebe memasang tarif biaya nikah sebesar Rp. 1.200.000,- pada calon penganten. anehnya lagi, meskipun pernikahannya dilakukan di dalam kantor, masyarakat tetap harus membayar biaya peenikahannya sebesar Rp. 1.200.000,-
“Saya minta biaya nikah kepada calon pengantin Rp. 1.200.000,-” tutur salah satu lebe yang ada di kecamatan Sliyeg saat dihubungi lewat telepon selulernya.
Ia mengutarakan, setiap pernikahan yang dilaksanakan baik di rumah maupun di dalam kantor, ia tetap membayar ke KUA sebesar Rp. 600 ribu.
“Baik pernikahan dilaksanakan di rumah atau di luar kantor maupun di dalam kantor, tetap membayar Rp. 600 ribu di KUA,” katanya.
Pernyataan lebe tersebut di amini oleh rekan lebe lainnya yang ada di kecamatan Sliyeg, yang mengatakan setiap pernikahan yang dilaksanakan baik d luar kantor atau di dalam kantor pihaknya membayar Rp. 600 ribu dan pembayarannya melalui KUA setempat.
“Setiap pendaftaran pernikahan baik di rumah atau di kantor pembayarannya diserahkan ke pa naib langsung,” tuturnya.
Sementara, plt kepala KUA Sliyeg H. Abdurrosyid melalui pesan whatsapp nya mengutarakan, berdasarkan PP 19 Tahun 2015 tarif biaya nikah / rujuk adalah Rp. 600 ribu.
“Jika ada tambahan biaya di luar tarif tersebut, maka hal itu di luar tanggung jawab dan kewenangan kami,” ucapnya lewat pesan singkay whataapp (6/09/2022).
Ditambahkannya, Setiap pernikahan yang dikenakan tarif PNBP sebesar Rp. 600.000, tentu biaya tersebut disetorkan ke kas negara melalui bank/kantor pos. Dan setiap pernikahan yang terdaftar di KUA dan dikenakan tarif PNBP, ada bukti setorannya. Adapun yang menyetorkan ke bank/kantor pos, bisa catin langsung atau yang bersangkutan meminta tolong orang lain, kata pria yang juga menjabat sebagai Kepala KUA Lohbener ini.
Apa yang disampaikan oleh Plt kepala KUA Sliyeg tersebut, berbanding terbalik dengan penyampaian beberapa lebe di kecamatan Sliyeg. Bahkan ada juga yang belum tahu kalau pernikahan di dalam kantor itu gratis.
Menanggapi kejadian tersebut. Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) Oushj Dialalmbaqa merasa heran, ternyata masih ada pungli dalam urusan pernikahan.
“Wah…. waaahhh… ternyata KAU juga luar biasa. Selevel Kepala KUA dan hirarkis di bawahnya memberikan argumentasi regulasi negara dengan alibi, lantas melakukan bantahan atas fakta dan realitasnya,” katanya.
Hal itu menunjukkan beberapa fakta dan realitas, yaitu, pertama, sudah membaca PP NO. 19 Tahun 2015 tapi tidak mengerti atau tidak paham tapi tidak mau bertanya sama yang paham regulasi negara.
Kedua, sudah membaca PP tapi lupa kemudian tidak mau baca lagi, Jadi suka-suka saja, mumpung masyarakat sudah mati kepekaan atas penyimpangan dan kontrol sosial.
Ketiga, bahwa negara membebaskan tarif nikah jika dilakukan di kantor KUA tapi pura-pura tidak tahu, karena kontrol sosialnya rendah dan
Keempat, mumpung mentalitas masyarakatnya rusak, maunya terima beres. Disitulah letak penyimpangan tersebut yang dimanfaatkan oleh KUA dan atau para Lebe.
Jika masyarakat yg mau nikah maunya tinggal beres saja dan itu cerminan dari masyarakat feodal dan bobrok, ya tentu akan dimanfaatkan oleh banyak pihak sebagai penghasilan.
Para Lebe kemudian menggunakan tarif jasa mengurus segala administratif pernikahan dengan jasa tarif yang dikalkulasi dengan kerja sehari, makan minum dan wara wiri transportasinya, ya pasti jadi aangat mahal, tuturnya.
Menurutnya, persoalan tarif mahal jasa Lebe juga kebobrokan pihak Kuwu, padahal jika Lebe itu bagian internal tak terpisahkan dari tata kelola pemerintahan desa, seharusnya Lebe tidak dibolehkan memungut biaya atas pelayanan masyarakat. Ada fakta dan realitas, justru Kuwunya juga minta bagian atau jatah. Jadi resiko nikah di luar kantor KUA pastilah amat sangat mahal, bisa jutaan rupiah.
“Yang di kantor KUA saja dipungut, KUA berani mungut biaya. Tidak tahu diri, tidak malu dan tak punya kemaluan. Itu soalnya,” tegasnya.
Berikutnya, diperkuat oleh kebobrokan mentalitas birokrasi KUA dan KEMENAG, bahwa memungut tarip atas administrasi dan atau pelayanan nikah itu ngotot tidak salah, padahal uang haram itu bagian dari yang namanya perkorupsian dalam UU tipikor.
Tentu praktik-praktik serupa itu tidak hanya terjadi di KUA Sliyeg saja nyaris disemua KUA di Indramayu. Waktu negara memungut resmi biaya nikah di KUA sebesar Rp 30 ribu saja,
Prakteknya, tidak ada KUA di Indramayu yang menetapkan biaya ringan itu, yang ada berdasarkan fakta dan realitas.
Data PKSPD, adanya di luar Indramayu, salah satu contoh, di KUA Probolingga Jateng, terpampang tulisan besar pemberitahuan kepada masyarakatnya bahwa negara hanya membebankan biaya sebesar Rp 30 ribu nikah di kantor KUA, bahkan ketika salah nempel materaipun tidak mau diganti oleh masyarakat dengan alasan sudah menjadi tanggung jawab dirinya mengemban amanat negara.
Nah ini tidak pernah ada di Indramayu. Itu fakta dan realitas yang PKSPD temukan atau jumpai, bukan atas data katanya – katanya.
Nah sekarang, PP NO. 19 Tahun 2015 telah membebaskan beban pungutan biaya pernikahan jika dilakukan di kantor KUA, tetapi fakta dan realitasnya masih saja dikenakan tarip Rp 600 ribu, bahkan nikah di luar kantor KUA dan di luar jam kerja Penghulu KUA, lantas dijadikan alasan tak waras itu, sama-sama tak waras antara KUA, Lebe dan Masyarakatnya. Lantas masyarakat kemudian berkeluh kesah dengan kedok kebodohan dan ketidkawarasan itu semua, itu soalnya, pungkasnya. (Daiz)