Ketidakadilan di Menara Gading, Kampus Membusuk dari Atas

Ketidakadilan di Menara Gading, Kampus Membusuk dari Atas

63 views
0
SHARE

Oleh: Harjoni Desky Dosen IAIN Lhokseumawe

Suara Indonesia News|Lhokseumawe.Perguruan tinggi sebagai pusat intelektual dan moral, seharusnya menjadi benteng keadilan dan kebijaksanaan. Namun, ketika kepemimpinan kampus dikuasai oleh individu yang zalim dan merasa paling benar, esensi akademik mulai terkikis. Kampus bukan lagi tempat berkembangnya gagasan dan kebebasan berpikir, melainkan berubah menjadi arena dominasi kekuasaan yang membungkam suara-suara kritis. Dalam situasi ini, ketidakadilan tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menghancurkan ekosistem akademik secara keseluruhan.

Rektor sebagai pemimpin akademik seharusnya menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan etika. Sayangnya, dalam banyak kasus, jabatan ini justru dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan. Otoritarianisme kampus muncul ketika rektor tidak menerima kritik, mengabaikan aspirasi mahasiswa dan dosen, serta memanfaatkan kebijakan akademik untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Sikap seperti ini menciptakan atmosfer ketakutan, di mana civitas akademika enggan berbicara lantang karena khawatir terhadap konsekuensi represif.

Dalam konteks akademik, kebebasan berpikir adalah ruh dari perguruan tinggi. Jika kampus hanya menjadi ruang untuk kepatuhan tanpa diskusi, maka nilai-nilai ilmiah akan tergerus. Kampus yang sehat mendorong perbedaan pendapat dan membangun budaya akademik yang terbuka. Namun, ketika seorang rektor berperilaku zalim dan egois, ia cenderung menciptakan sistem yang menutup kritik dan membungkam suara-suara yang berseberangan. Hal ini menjadi ironi, karena institusi pendidikan justru menjadi contoh buruk dalam berdemokrasi dan menjunjung tinggi keadilan.

Ketidakadilan di lingkungan akademik sering kali diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang diskriminatif dan tidak transparan. Dosen yang kritis terhadap kebijakan rektor bisa saja dikucilkan, tidak mendapatkan promosi yang layak, atau bahkan dihadapkan pada sanksi administratif yang tidak adil. Mahasiswa yang berani bersuara dapat mengalami intimidasi, pemotongan beasiswa, atau kesulitan dalam menyelesaikan studi mereka. Keadaan ini mencerminkan betapa kuasa seorang pemimpin kampus dapat menjadi alat penindasan jika tidak dikontrol oleh prinsip-prinsip keadilan dan akuntabilitas.

Fenomena ini bukan sekadar isu internal kampus, melainkan cerminan dari masalah yang lebih luas dalam tata kelola pendidikan tinggi. Jika institusi akademik yang seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran justru dipimpin oleh sosok yang otoriter dan anti-kritik, maka bagaimana mungkin kita mengharapkan lahirnya generasi intelektual yang kritis dan berintegritas? Kampus yang membusuk dari atas akan merembet ke seluruh aspek kehidupan akademik, menciptakan lingkungan yang apatis, pragmatis, dan jauh dari semangat keilmuan yang sesungguhnya.

Solusi atas permasalahan ini tidak hanya terletak pada reformasi kepemimpinan kampus, tetapi juga pada penguatan sistem pengawasan dan partisipasi aktif seluruh civitas akademika. Rektor dan pejabat kampus harus diawasi oleh mekanisme check and balance yang efektif, baik melalui senat akademik, mahasiswa, maupun lembaga independen. Kebijakan kampus harus dibuat secara transparan dan akuntabel, dengan membuka ruang bagi kritik dan masukan dari berbagai pihak. Tanpa mekanisme ini, kampus akan terus berada dalam lingkaran kezaliman yang merugikan banyak pihak.

Lebih jauh, keberanian intelektual harus terus diperjuangkan. Mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan tidak boleh takut untuk menyuarakan kebenaran. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan besar selalu diawali oleh keberanian untuk menolak ketidakadilan. Kampus yang sejati bukanlah menara gading yang jauh dari realitas, melainkan ruang dialektika yang terus berkembang dan memperjuangkan keadilan. Jika kampus membusuk dari atas, maka reformasi harus dimulai dari akar, agar ilmu pengetahuan tetap menjadi cahaya bagi peradaban.

Keadilan akademik bukan sekadar idealisme, tetapi kebutuhan mendasar dalam membangun peradaban yang maju. Pemimpin kampus yang zalim dan egois harus disadarkan bahwa jabatan mereka bukanlah hak istimewa, melainkan amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat mereka sebagai bagian dari kehancuran intelektual yang mereka ciptakan sendiri. Saatnya kampus kembali kepada esensinya: tempat bagi keilmuan, keadilan, dan kebebasan berpikir yang sesungguhnya.

Beberapa kampus telah mengalami dampak buruk dari kepemimpinan yang zalim dan otoriter. Sebut saja beberapa perguruan tinggi yang kehilangan ribuan mahasiswa dalam beberapa tahun terakhir karena kebijakan rektor yang tidak berpihak pada kepentingan akademik dan kesejahteraan civitas akademika. Biaya pendidikan yang tidak masuk akal, fasilitas yang tak memadai, serta atmosfer yang menekan kebebasan berpikir menyebabkan mahasiswa memilih meninggalkan kampus tersebut. Kejadian ini menjadi bukti nyata bahwa kepemimpinan yang buruk tidak hanya merugikan individu, tetapi juga eksistensi institusi secara keseluruhan.

Tak jarang pula, rektor yang selama menjabat bersikap otoriter dan menekan berbagai pihak akhirnya merasakan dampak dari perbuatannya setelah purna tugas. Banyak mantan rektor yang setelah lengser tidak lagi dihormati oleh mahasiswa maupun kolega akademiknya. Tanpa jabatan dan kekuasaan, mereka hanya dikenang sebagai pemimpin yang pernah mencederai nilai-nilai keadilan dan kebebasan akademik. Nasib seperti ini seharusnya menjadi pelajaran bagi para pemimpin kampus agar lebih bijak dalam menjalankan amanah mereka.

 

Kepercayaan terhadap institusi akademik harus dibangun kembali melalui kepemimpinan yang adil dan transparan. Jika kampus ingin tetap relevan dan dihormati, maka reformasi kepemimpinan harus dilakukan dengan serius. Tidak boleh ada ruang bagi pemimpin yang lebih mementingkan egonya dibandingkan kemajuan akademik dan kesejahteraan civitas akademika. Kampus harus kembali menjadi tempat di mana ilmu pengetahuan dihargai, bukan kekuasaan yang diagungkan.

Tak perlu merasa benar sendiri, karena ilmu sejati tak mengenal kesombongan. Seorang pemimpin yang baik adalah dia yang bisa mendengar, memahami, dan berani berbuat adil. Sebagai penutup, sebuah pantun untuk menginspirasi: “Kampus megah menjulang tinggi, Ilmu berkembang di setiap sudut. Pemimpin adil dikenang abadi, Yang zalim hilang tak berbalut hormat”.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY