Suara Indonesia News – Samosir. Warga sekitar dermaga Ambarita kecamatan Simanindo kabupaten Samosir sumatera utara (sumut),dirikan Spanduk bentuk protes bertuliskan Tanah seluas 7011 M2 sedang dalam proses sengketa di PTUN Medan antara Lembaga Komunikasi Masyarakat Pelabuhan Ambarita dan Perantau melawan Pemkab Samosir dan Dirjen Perhubungan Darat.
Ketua Lembaga Komunikasi Masyarakat Labuhan Ambarita dan Perantau (LKMLAP) Monang Ambarita senin 14/september/2020, menyampaikan hingga saat ini pengerjaan pelebaran pelabuhan KM Ihan Batak di Desa Ambarita masih dalam sengketa. Terus terang kami mendukung pembangunan, tapi jelas menolak penggusuran, kata Monang Sidabutar.
Hingga saat ini, selembar karton seukuran 30×60 Cm bertuliskan, dilarang keras mengukur tanah milik warga tanpa persetujuan dari pemilik, terpampang di sudut kanan rumah milik St J Siallagan.
Monang Sidabutar menambahkan, persoalan ini sudah cukup lama. Karenanya, mereka memprotes pemerintah secara transparan baik melalui pemasangan poster dan spanduk karena mereka merasa terancam akan tergusur dari desanya seiring pembangunan Dermaga KM Ihan Batak oleh Kementerian Perhubungan di Ambarita. Monang mengaku mendukung sepenuhnya pembangunan, namun menolak penggusuran. Keberadaan mereka saat ini katanya, sedang dalam ketidakpastian.
Sebelumnya, menanggapi hal itu Bupati Samosir Rapidin Simbolon mengatakan sesuai yang terdata saat ini di Pelabuhan Ambarita ada 24 Kepala Keluarga (KK) yang menempati lahan Pemerintah Kabupaten Samosir. Katanya, warga menempati berdasarkan sistem sewa.
Perlu kami jelaskan bahwa di Pelabuhan Ambarita ada sebanyak 24 KK yang masih menempati lahan Pemerintah Kabupaten Samosir dengan sistem sewa (sebagian masih ada dokumen), sebut Rapidin.
Menurut Rapidin, dengan adanya pembangunan oleh Kemenhub menjadi terminal pelabuhan bertaraf Internasional, warga akan direlokasi. Pemkab Samosir disebut sudah menyiapkan tempat bagi warga yang akan direlokasi. Dari 24 KK yang tinggal di sekitar pelabuhan, disampaikan Rapidin 13 KK sudah menyetujui relokasi dan ganti rugi.
Oleh karena itu, warga yang tinggal di sana untuk direlokasi, dari 24 KK yang tinggal di sana sudah setuju 13 KK untuk pindah dan direlokasi ke tempat yang sudah disiapkan oleh Pemkab Samosir, jelas Rapidin.
Rapidin menuturkan, semua bangunan warga terdiri dari 24 KK tersebut akan diganti rugi. Sesuai kebijakan Pemkab Samosir, apabila terminal sudah selesai dibangun 24 KK warga pelabuhan yang semula tinggal di sana akan diprioritaskan untuk berusaha.
Menyikapi hal ini Monang Sidabutar, Ketua Umum Lembaga Komunikasi Masyarakat Labuhan Ambarita dan Perantau (LKMLAP) menyampaikan mereka telah bermukim lebih dari empat generasi. Awal dari permulaan persoalan tersebut atas penghibahan Pemerintah Kabupaten Samosir kepada Kementerian Perhubungan lahan seluas 7011 meter persegi.
Penghibaan itu juga menurutnya tanpa setahu mereka, dan terakhir diketahuinya ketika diundang Rapat Dengar Pendapat (RDP) tahun 2017 di Kantor DPRD Samosir. Kami juga tidak tahu, kalau tanah ini dihibahkan kepada Kementerian Perhubungan Darat pada 2017 lalu, imbuhnya.
Terkait sebagian warga yang menyewa kata Monang, menurutnya juga masih kabur dan dia meminta Pemkab Samosir mengklarifikasi terkait dokumen kepemilikan. Karena, ada pun pembayaran yang pernah dilakukan para orang tua mereka adalah pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBN).
Seperti disampaikan Monang, secara histori nenek moyang mereka telah lama berdiam di pelabuhan tersebut. Dalam hal ini, mereka selaku masyarakat pelabuhan membantah desa mereka diklaim sebagai lahan Pemkab Samosir.
Merasa mentok, belakangan lembaga yang dia pimpin menempuh jalur hukum ke tahapan yang lebih tinggi. Monang Sidabutar bersama tim menggugat Bupati Samosir dan Dirjen Perhubungan Darat melalui di PTUN Medan.
Dalam surat yang dilayangkan ke PTUN Medan, Monang bersama tim Kuasa Hukumnya Darman Sagala tertsnggal 2 September 2020 menggugat Bupati Samosir dan Dirjen Perhubungan Darat. Tertera pada surat tersebut, bahwa obyek sengketa yang menjadi objek sengketa yang melanggar perbuatan melanggar hukum oleh Badan atau Pejabat Pemerintah dalam perkara tata usaha negara yang menandatangani penyerahan tanah seluas 7011 M2 kepada Kementerian Perhubungan.
Dalam hal ini, Kata Monang masyarakat merasa dirugikan. Alasannya, masyarakat pelabuhan sudah berdomisili di sana sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri.
Bahkan kami, sudah bermukim di sana jauh sebelum Indonesia merdeka menjadi negara yang berdaulat, tutup Monang. (Jabs)