SMUR : DPRA Wariskan Penjajahan Tanah Masyarakat Adat di Batee VIII

SMUR : DPRA Wariskan Penjajahan Tanah Masyarakat Adat di Batee VIII

624 views
0
SHARE

Suara Indonesia News – Aceh Utara. Kemampuan DPRA dinilai tumpul dalam menyikapi ledakan konflik agraria di aceh. Ketumpulan DPRA dalam berfikir dipertontonkan melalui carut marut konflik masyarakat batee VIII dengan PT Setya Agung yang hampir 3 tahun berlangsung belum mendapat gambaran bagaimana solusi penyelesaianya, hingga hari ini kamis 30 mei 2024, masyarakat Adat Bate VIII terus merasakan ketertindasan yang dilakukan oleh perusahaan.

DPRA selaku lembaga negara tidak pernah merasakan bagaimana pedihnya nadi masyarakat yang kehilangan tanah adat atas serakahnya perusahaan yang  menjajah.

Padahal, pada tahun 2018 Liputan6.com mencatat luas lahan yang bersengketa terjadi pada empat kabupaten di provinsi Aceh mencapai 5.420,5 hektare. Dengan jumlah korban konflik agraria 4.080 jiwa serta 57 orang dipidana dengan tuduhan memasuki lahan orang lain tanpa izin.

Rizal Bahari menilai DPRA belum serius menangani problem agraria di aceh, akibatnya yaitu konflik bermetamorfosis menjadi semakin kompleks. Sehingga, Pembiaran terhadap konflik terus berulang dan menjadi warisan turun-temurun dari setiap pemerintahan. Padahal, jumlah konfliknya terus terakumulasi dan sewaktu-waktu bisa terjadi ledakan konflik agraria secara besar besaran di aceh.

Sebagai contoh, lanjut rizal, konflik agraria di desa Batee VIII, Aceh Utara, yang menjadi warisan pemerintah sebelumnya. Konflik ini melibatkan masyarakat Batee VIII dan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT setya Agung.

Sebelumnya, 15 maret 2022 silam masyarakat Kilometer VIII telah melakukan audiensi dengan pihak DPRA, dalam pertemuan tersebut DPRA menjajikan pembentukan panitia khusus ( Pansus ) untuk menangani persoalan konflik agraria di KM.VIII, namun hingga detik ini pembahasan tentang panitia khusus tersebut tak kunjung dilaksanakan oleh DPRA, alih alih penyelesain konflik nyatanya DPRA malah sengaja mengabaikan nasib tanah adat masyarakat Batee VIII.

Ditengah konflik berlangsung pada tanggal 28 mei 2024, masyarakat batee8 kembali memenuhi undangan dari muspika simpang keramat untuk malakukan dialog dengan pihak PT Setya Agung dengan harapan tercapainya kesepakatan di antara dua pihak yang bersengketa.

Dalam pertemuan tersebut, masyarakat meminta perusahaan untuk melakukan pengukuran ulang HGU secara keseluruhan demi memperjelas sampai mana tata batas HGU perusahaan yang di keluarkan Badan Pusat Pertanahan. Karena lahan produksi perusahaan diduga telah menyerobot tanah adat masayarakat Batee VIII,

Namun pihak perusahaan PT Setya Agung tidak menerima usulan masyarakat dengan dalih biaya pengukuran lahan terlalu mahal serta tidak adanya persetujuan dari pihak bos besar perusahaan yang berada di Medan, mendengar hal tersebut Akhirnya masyarakat Batee VIII bubar dengan rasa kesal karena tidak mencapai kesepakatan.

Menimbang penyelesain konflik agraria di bate VIII tidak mampu menjumpai solusi diantara pihak bersengketa, maka kami dari Solidaritas mahasiswa untuk rakyat (SMuR) dan front batee VIII menggugat, mendesak DPRA memanggil BPN untuk membuka data HGU PT setya agung dan segera menghentikan aktivitas perusahaan sebelum masalah konflik yang terjadi  pada masyarakat Batee VIII dan PT Setya Agung dinyatakan selesai.

Jangan sampai dengan kinerja DPRA yang lamban masyarakat akan menilai bahwa DPRA bermain mata dengan perusahaan lalu diam melihat persoalan rakyat Aceh, (wandy ccp)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY