Suaraindonesianews.com, Jakarta – Sejumlah aktivis lingkungan dan tokoh-tokoh yang bergerak dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan menyampaikan apresiasinya atas tindakan konkrit pemerintah dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah di tanah air.
“Kami mengapresiasi tindakan cukup konkrit dari pemerintah saat ini, yang hal ini akibat kesalahan tata kelola selama beberapa dekade. Jadi peristiwa ini adalah dampak proses akumulasi perusakan lingkungan secara sistematis,” kata Nur Hidayati dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kepada wartawan seusai diterima Presiden Jokowi, di kantor Presiden, Jakarta, Jumat (23/10) pagi.
Nur Hidayati bersama sejumlah aktivis dan tokoh LSM lingkungan baru saja diterima oleh Presiden Jokowi, guna berdiskusi dan berbagai usulan terkait penanganan korban bencana kebakaran hutan dan lahan. Dalam pertemuan itu, disampaikan beberapa usulan tahapan darurat, jangka menengah, dan jangka pandajng dalam menghadapi bencana asap.
“Tahapan segera yaitu tindakan darurat, berupa evakuasi kelompkn rentan (balita, anak-anak, ibu hamil dan orang tua) ke sarana gedung pemerintahan daerah yang sudah dilengkapi alat pemurnian udara agar udara yang dihirup cukup layak,” kata Nur Hidayati.
Adapun jangka menengah adalah melakukan proses tindakan hukum, berupa proses perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi kepada perusahaan dan secara pindana, kejahatan menyangkut korporasinya, dan yang terakhir pemberian sanksi administrasi berupapembekuan dan pencabutan izin bagi perusahaan yang lalu ataupun yang menyebabkan bencana asap.
Jangka panjang, lanjut Nur Hidayati, yaitu upaya pemulihan dan restorasi ekosistem gambut. “kami mengusulkan segera lakukan bloking kanal dan tidak boleh ada kanal baru, dan perbaikan ekonomi bagi warga di sana,” jelas Nur Hidayat.
Bencana Berikutnya
Sementara itu Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia mengingatkan pemerintah dan masyarakat di Kalimantan dan Sumatera untuk segera bersiap mengantisipasi bencana berikutnya.
“Dengan kondisi lahan gambut yang terbakar berada di dekat pantai dan elevasi dari permukaan laut tidak terlalu tinggi atau sekitar 30 meter, dengan lahan gambut yang semakin berkurang dan air laut yang semakin tinggi kita terancam menghadapi bencana lingkungan yang parah tetapi juga mengalami bencana kemanusiaan yang sangat parah,” kata Chalid.
Dijelaskan Chalid, dengan kebakaran hutan yang dialami ini akan ada masalah baru, misalnya banjir, karena lahan gambut yang ada kondisinya berkurang akibat terbakar, dan beberapa mengalami subsiden atau amblas. Dengan demikian, jika berada di tepi laut maka akan tergenang oleh air laut jika dekat sungai maka akan tergenang air sungai
“Solusinya apa? Saya tegaskan lagi adalah stop pembangunan lahan gambut,” kata Chalid seraya menyebutkan bahwa pembangunan kanal juga tidak baik bagi lahan gambut, karena air yang ada jadi kering dan keluar, yang akibatnya lagi lahan gambut menjadi kering dan justru lebih mudah terbakar.
Chalid menambahkan ada sekitar 33 juta orang yang terpapar asap terus menerus berdasarkan data 2010. Dan pada data sensus saat ini sudah diatas 43 juta orang, dan 270.000 yang menderita ISPA (infeksi saluran pernafasan atas) berdasarkan data yang terekam di rumah sakit dan puskesmas. Yang tidak memeriksakan atau melapor jumlahnya bisa lebih banyak, serta lebih dari 12 orang meninggal dunia dan kerugian mencapai Rp 400 triliun
“Dana penaggulangan asap tahun lalu 600 milyar dan tahun ini dialokasikan Rp 1 triliun lebih. Persoalannya, sampai kapan bencana ini akan terjadi” ucap Chalid.
Dalam pertemuan itu, menurut seorang peserta, Presiden Jokowi berkomitmen dan akan melakukan perubahan besar-besaran atas pemanfaatan lahan gambut yang berkonversi menjadi lahan industri.
“Pemerintah akan melakukan review perizinan dan pencabutan izin bagi perusahaan-perusahan yang ada agar bencana ini tidak berlangsung terus-menerus,” kata Presiden Jokowi sebagaimana dikutip oleh salah seorang peserta pertemuan.
Pertemuan ini dihadiri oleh Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Greenpeace, Institut Hijau Indonesia, WAHABI, pengamat lingkungan dan lahan gambut, serta aktivis independen. (Hm/Sk)