Oleh : La Ode Muhammad Aril Masri (Fungsionaris PB HMI Komisi Kepemudaan, Kemahasiswaan & Olahraga)
“Saat demokrasi semakin bebas, maka kebebasan berpendapat terbuka sebebas bebasnya, disaat itulah politik kita di pertontonkan oleh berbagai permainan, intrik dan distorsi,”
Suara Indonesia News. Pilkada serentak 2020 akan dilaksanakan pada tanggal 9 desember mendatang yang telah disepakati pada tanggal 27 mei 2020 melalui rapat antara DPR RI Komisi II bersama Kementrian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU) , Bawaslu dan DKPP. Setidaknya ada sebanyak 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada serentak 2020 dengan persentase 9 provinsi untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur,37 kota untuk pemilihan walikota dan wakil walikota serta 224 kabupaten untuk pemilihan bupati dan wakil bupati.
Momentum ini tentu adalah moment yang paling ditunggu oleh masyarakat, pegiat politik, pejuang demokrasi dan seluruh stakehloders yang mengharapkan pimpinan baru dimasing-masing daerahnya. Selain itu pesta demokrasi ini juga menjadi sebuah harapan baru bagi masyarakat melalui tawaran-tawaran program menarik dari masing-masig kandidat.
Bargaining itulah yang kemudian menjadi sebuah stategi untuk menggalang dukungan dengan tujuan memenangkan pertarungan politik. Bagi sebagian elit politik tak hanya program yang menjadi daya tarik tapi bargaining posisition yang menjadi komitment antara calon pemimmpin dan aktor politik. Juga tak sedikit orang yang mencari panggung popularitas melalui momentum ini.
Namun dalam prosesnya, setiap menghadapi pesta demokrasi kita selalu dipertontonkan dengan hal-hal yang sangat dangkal dan tidak esensial dalam dunia politik indonesia. Tidak sedikit dari mereka tejebak dalam ruang-ruang perdebatan yang tidak produktif karena fanatisme politik yang mereka anut.
Diskriminasi sistemik terjadi yang mana meniadakan atau mengecilkan peran seseorang dimasyarakat karena perbedaan latar belakang kepentingan, pilihan dan golongan dalam masyarakat. Upaya ini selalu terjadi bahkan telah mengakar pada cultur dan sistem perpolitikan indonesia, sehingga tidak dilihat sebagai suatu tindakan yang bodoh namun sebagai tindakan yang wajar dilakukan.
Dalam realitas ini anak muda mesti hadir sebagai pioner demokrasi yang santun dan berkarakter, tidak malah memperkeruh kondisi politik yang dangkal.ada banyak fenomena politik yang banal yang sedang kita saksikan seperti black campaign, hoax dan money politik. Semua itu adalah lumrah dilakukan karena telah mengakar dan menjadi budaya. Oleh karena itu, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat adalah tanggung jawab anak muda sebagai generasi bangsa dalam mewujudkan demokrasi yang sehat.
Banalitas Politik Melalui Black Campaign, Hoax Dan Money Politik
Dalam beberapa kasus menjelang pemilu legislative maupun eksekutif praktik black campaign, penyebaran hoax dan money politik kerap terjadi. Hal ini tentu menunjukan tingkat ketidak percayaan diri yang tinggi. Black campaign dan penyebaran hoax kerap dilakukan sekelompok orang melalui fake accounts dan media online catering. Praktik money politik kadang menjelma menjadi bagi-bagi kue kepada masyarakat. Framing atas money politik yang gagal ini cukup memprihatinkan. Pasalnya upaya-upaya seperti itu sangat tidak mendidik.
Barter antara kue dan suara yang dipertontonkan tokoh politik ini menunjukan gambaran wajah perpolitikan yang sangat sporadic dan sectarian serta sangat anomaly dari nilai-nilai demokrasi yang telah dibangun beberapa tahun lalu. Segelintir menganggap bahwa dominasi black campaign, penyebaran hoax dan money politik adalah strategi untuk memenangkan pertarungan politik.
Atas fenomena tersebut seolah kita telah menguatkan tesis yang mengatakan bahwa salah satu gejala paling menonjol digenerasi Z ini (generasi digital) adalah meningkatnya individualism. Sikap saling tidak menghargai dan pengahancuran aturan yang dibangun oleh budaya individualism membuat kita semakin picik. Pasalnya hanya menyisakan satu aturan yakni menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan pribadi.
Maka pendidikan politik dipandang perlu untuk diberikan kepada seluruh masyarakat. Minimal tidak pendidikan politik dimulai dari diri sendiri demi terselenggaranya pemilu yang kondusif, aman dan damai.
Pendidikan Politik
Upaya pendidikan politik tidak lain sebagai upaya pemberian pemahaman, pencerahan akan tanggung jawab masyarakat dalam posisinya menghadapi pemilu. Dengan ini masyarakat diharapkan tidak lagi terjebak pada political fallacy.
Idealnya lembaga seperti partai politik yang memberikan pendidikan politik yang kemudian mampu menggerakan dan mensosialisasikan peran urgen masyarakat tidak malah menambah penderitaan masyarakat dengan cara melacurinya.
Pendidikan politik juga sebagai upaya memajukan proses demokrasi yang santun dan berbudaya dari semua individu dan masyarakat. Bahwa dalam situasi social politik itu penuh intrik dan konflik yang harus diketahui oleh seluruh elemen masyarakat.Orientasi pendidikan politik diarahkan pada demokratisasi setiap individu dan masyarakat bukan politisasi individu dan masyarakat.
Keberhasilan pendidikan politik ini akan ditandai dengan perubahan paradigma berfikir masyarakat terhadap politik bahwa politik itu adalah istrumen untuk mencapai kesejateraan memalui kebijakan. Dengan begitu banalitas politik atau proses pendangkalan politik yang didalamnya berbagai hal yang remeh temeh dan tidak esensial tidak terjadi lagi dalam wajah demokrasi indonesia.