LSM KPPAS Minta Dinas Pendidikan Aceh Singkil kaji Ulang Sekolah Kembali Masuk 

LSM KPPAS Minta Dinas Pendidikan Aceh Singkil kaji Ulang Sekolah Kembali Masuk 

186 views
0
SHARE

Suara Indonesia News – Aceh Singkil. Ketua LSM Komunitas Peduli Pembangunan Aceh Singkil (KPPAS) Drs. Sl.Kabeakan, meminta kepada Dinas Pendidikan Aceh Singkil untuk mengkaji lebih mendalam terkait Wacana untuk kembali melaksanakan belajar tatap muka bagi seluruh tingkatan Sekolah di Kabupaten Aceh Singkil, demikian di sampaikan kepada Media ini Kamis 27/08/2020 di Singkil.

Ia menambahkan sistim yang di lakukan Pihak Dinas yaitu Memberi semacam foling kepada Orang tua murid harus di kaji , karena persoalan yang kira hadapi adalah masalah nyawa anak anak, di katakan ‘”seharusnya yang selalu jadi rujukan terkait sudah boleh tidak nya anak anak masuk sekolah adalah Pihak Kesehatan dan Gugus tugas Covid 19 Aceh Singkil “tegas nya.

Terpisah Ikatan Guru Indonesia (IGI) jauh sebelumnya mewanti-wanti agar pemerintah menggeser Tahun Ajaran Baru 2020/2021 dari semula dimulai pada 13 Juli 2020 ke Januari 2021.

Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim beralasan ada beberapa pertimbangan penundaan tahun ajaran baru ini, salah satunya guna memberikan kepastian bagi dunia pendidikan untuk memiliki langkah-langkah yang jelas terutama terkait minimnya jumlah guru yang memiliki kemampuan tinggi dalam menjalankan pembelajaran jarak jauh.

“Data Kemendikbud yang disampaikan oleh Plt. Dirjen Dikdasmen menunjukkan lebih dari 60 persen guru bermasalah dalam PJJ karena ketidakmampuan guru dalam penguasaan teknologi. Jika penguasaan teknologi saja lebih dari 60 persen bermasalah maka bagaimana kita bisa berharap guru menghadirkan PJJ yang menyenangkan dan berkualitas?” kata Ramli.

Saat itu Ramli mengingatkan Kemendikbud supaya membuka mata bahwa realitas sekolah jarak jauh di Indonesia masih bermasalah.

“Dan inilah yang selama ini dikerjakan kawan-kawan IGI yang justru tak kami lihat adanya upaya Kemendikbud menuntaskan masalah rendahnya kemampuan guru melaksanakan PJJ. Dan karena itu, IGI siap mengambil tanggung jawab itu dengan syarat Kemendikbud memberikan tanggung jawab itu secara resmi ke IGI,” tegas dia.

Dengan menggeser tahun ajaran baru, Kemendikbud juga bisa fokus meningkatkan kompetensi guru selama enam bulan agar di bulan Januari sudah bisa menyelenggarakan PJJ berkualitas.

Hal senada di sampaikan Presiden Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Pulungan, ia menolak pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning Covid-19, karena dinilai mempertaruhkan nyawa anak Indonesia. Pasalnya, menurut Aman, kategorisasi zona Covid-19 sebagai penentu boleh tidaknya sekolah menggelar pembelajaran tatap muka dinilai kurang kredibel. Dia bahkan menyebut jangan mempercayai zonasi Covid-19 di Indonesia.

“Ini sangat dinamis datanya, jangan percaya zona di Indonesia,” tegas Aman saat diskusi daring, Senin, 17 Agustus 2020.

Menurut Aman, zonasi Covid-19 yang ditetapkan pemerintah tidak real time. Artinya zonasi saat ini berpatokan pada temuan kasus pada satu atau dua pekan yang lalu.

Dia bahkan mengaku pernah menemukan zona yang dikatakan hijau oleh pemerintah, tapi saat dikonfirmasi kepada koleganya yang berada di wilayah tersebut ditemukan kasus Covid-19 terhadap anak.

“Semua zona-zona ini saya tidak sepakat. Pernah ada zona dikatakan hijau, saya telepon ketua IDAI-nya, gimana zona ini? Oh kita ada kasus baru anak,” jelas Aman.

“Zona ini data kasus seminggu dua minggu lalu. Data kemarin kan kita tidak tahu,” sambungnya.

Hal yang sama juga disuarakan oleh pakar Epidemiologi Iqbal Elyazer yang mengingatkan pemerintah soal bahaya pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning Covid-19.

“Satu nyawa anak pun tidaklah kurang nilainya dari satu nilai nyawa presiden. Satu nyawa menteri pun itu sama nilainya dengan satu nyawa anak manapun di negeri ini,” tegas dia.

Iqbal menjelaskan, tugas utama pemerintah adalah melindungi segenap warganya. Sementara, tugas mencerdaskan ada setelah perlindungan ini berhasil dijamin.

75 tahun yang lalu pemerintah Indonesia dibentuk dengan tugas melindungi segenap bangsa Indonesia, melanjutkan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa. Urutannya, lindungi, kesejahteraan, cerdaskan,” jelasnya.

“Setiap keputusan pemerintah harus diverifikasi terhadap ketiga tujuan ini. Sekarang pertanyaannya adalah apakah keputusan membuka pengajaran tatap muka itu merupakan tindakan melindungi atau malah tindakan yang mengancam keselamatan jiwa?” ucap Iqbal.

Menyangkut zonasi, Iqbal mengkritisi penzonasian yang dilihatnya kurang efektif. Dia menimbang penzonasian kasus Covid-19 saat ini masih berdasarkan jumlah temuan kasus Covid-19, yang mana tergantung jumlah dan sebaran tes masif.

“Soal zonasi hijau kita sudah ribut sejak akhir Mei untuk berhati-hati menggunakan istilah zonasi hijau, zonasi tidak terdampak. Karena sama sekali mengandalkan jumlah kasus, jumlah pemeriksaan,” paparnya.

Menurut Iqbal, zonasi yang dibuat pemerintah akan kredibel hasilnya bilamana disertai publikasi jumlah telusur kasus di tiap kabupaten/kota.

“Pemerintah tidak berani menampilkan jumlah pemeriksaan per kabupaten/kota, karena di situlah kita akan melihat keseriusan mereka untuk mencari, melacak, dan melakukan penanggulangan. Sampai detik ini kita tidak pernah melihat jumlah pemeriksaan PCR per kabupaten/kota. Oleh karena itu, kredibilitas apa pun yang berkaitan dengan zonasi sepanjang indikator itu tidak dikeluarkan, maka menjadi tidak kredibel,” tegasnya.

Iqbal juga mempertanyakan apakah pemerintah sudah mengalkulasi potensi infeksi Covid-19 terhadap anak-anak bila sekolah dibuka.

“Kita rindu kebijakan yang berbasis prinsip ilmiah dan data. Pertanyaan saya adalah apakah tim pakar pemerintah sudah pernah menghitung secara jujur dan terbuka berapa banyak anak-anak yang akan terinfeksi dan meninggal jika sekolah itu dibuka?” ujar Iqbal.

Iqbal mengutip penelitian terbaru di San Fransisco soal pembukaan sekolah. Penelitian itu menyatakan bahwa pembukaan sekolah tidak hanya mengancam jiwa anak-anak, tapi juga mengancam jiwa para guru.

“Pembukaan sekolah menengah atas meningkatkan infeksi pada guru-guru 41 persen. 37 persen pada anak-anak di usia sekolah menengah pertama (SMP). Apakah hal seperti itu pernah dihitung oleh tim pakar pemerintah?” sambungnya.

Menurut Iqbal, potensi ini tak pernah dinarasikan oleh pemerintah. Baik itu di panggungnya sendiri maupun dalam diskusi-diskusi publik.

“Pejabat pemerintah pasti tidak mau menanggung konsekuensi dari tuntutan hukum terhadap hilangnya korban jiwa anak-anak,” pungkas Iqbal. (Salomo)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY