Suara Indonesia News|Yogyakarta. Banal Komunal menggelar “Pagelaran Puisi Sirkus Akademik” di Institut Seni Indonesia Yogyakarta sebagai bentuk protes terhadap kebijakan hukum yang masih lemah dalam menangani kasus pelecehan seksual, khususnya di lingkungan akademik. Acara ini bertujuan untuk memberikan suara bagi para korban dan mengajak masyarakat untuk bersama-sama melawan budaya impunitas yang masih mengakar di kampus. (26 Januari 2025)
Pelecehan seksual di kampus seni telah menjadi isu yang mendesak dan memerlukan perhatian serius. Sering kali, perhatian hanya tertuju pada oknum dosen sebagai pelaku, padahal banyak mahasiswa juga berperan dalam membudayakan perilaku yang merugikan ini. Banyak di antara mereka yang menganggap pelecehan sebagai hal sepele, sehingga menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi sesama. Dalam konteks ini, Banal Komunal berupaya menyoroti bahwa lingkaran ekosistem yang menyuburkan pelecehan harus dilawan secara kolektif, dengan melibatkan semua pihak di kampus.
Melalui puisi-puisi ini, Banal Komunal berharap dapat membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai isu pelecehan seksual di kampus. Kami mengajak semua pihak untuk bersama-sama menciptakan lingkungan akademik yang aman dan mendukung, di mana setiap individu merasa dihargai dan terlindungi.
“Kami percaya bahwa trauma seumur hidup tidak boleh dianggap remeh, dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk mendengarkan dan mendukung para korban. Pagelaran puisi ini adalah langkah awal untuk mengubah narasi dan menciptakan perubahan yang nyata dalam lingkungan akademik. “ Ungkap Banal.
Kegiatan Banal Komunal muncul sebagai gerakan seni protes dengan strategi membongkar kultur kekerasan melalui puisi. Banal memamerkan puisi di ruang-ruang publik kampus halaman, koridor, perpustakaan, dan tempat parkir menggunakan seni sebagai senjata kritik sosial.
Puisi-puisi mereka menghadirkan narasi korban dengan metafora tajam. “Badut Bergelar” misalnya, mengekspose figur dosen yang melakukan pelecehan, sementara “Kantin Kanibal” dan “Perpustakaan Hantu” membongkar mekanisme sistemik kekerasan di lingkungan akademik.
Tujuan utama gerakan ini adalah membuka ruang diskusi, mendesak perubahan kebijakan, melawan budaya pembiaran, dan membangun solidaritas korban. Mereka tidak sekadar mengkritik, tetapi menciptakan ruang aman bagi suara-suara yang selama ini terdiskorasi.
Banal Komunal sengaja menggunakan puisi untuk mengguncang kesadaran publik tentang kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Setiap pertunjukan puisi adalah sebuah aksi: membongkar topeng institusi pendidikan, menghadirkan kebenaran di balik fasad akademik yang rapuh, dan menuntut perubahan sistemik untuk melindungi generasi muda dari kekerasan seksual. (Yoman Making)