Suara Indonesia News|Labuan Bajo. Dua nama lelaki ini menjadi perbincangan oleh publik Manggarai Barat terkait konflik tanah 11 hektar di Kerangan, Labuan Bajo, Manggarai Barat. Diantaranya nama Haji Ramang Ishaka dan Muhamad Syair yang diduga menjadi pemicu terjadinya konflik dalam urusan tanah di Labuan Bajo.
Bahkan sebagian besar masyarakat ulayat Nggorang menilai, bahwa jabatan fungsionaris adat justru membuat keduanya ini menjadi kebal hukum. Bahkan merasa bebas mutlak, untuk menguasai tanah-tanah di Labuan Bajo atas nama Ahli Waris ulayat Nggorang.
Keluarga besar ahli waris almarhum Ibrahim Hanta mendesak Haji Ramang Ishaka dan Muhamad Syair, sebagai Fungsionaris Adat Nggorang, untuk tampil dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan konflik kepemilikan tanah yang tengah bergulir.
“Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah lahan seluas 11 hektar di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, yang kini sedang dalam proses hukum di Pengadilan Tinggi Kupang. Mereka harus bertanggung jawab menyelesaikan dengan bijak dan benar,” kata Muhamad Rudini, salah satu ahli waris Ibrahim Hanta, kepada media Senin (10/3/2025) di Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat.
Rudini menegaskan, Fungsionaris Adat Nggorang harus mengambil tanggung jawab moral dan hukum dalam perkara ini. Dimana Haji Ramang dan Muhamad Syair mengklaim sebagai keturunan Fungsionaris Adat yang memahami silsilah kepemilikan tanah.
“Untuk itu sudah seharusnya mereka (red-Ramang dan Syair) berani muncul dan mempertanggungjawabkan segala pernyataannya tentang tanah sengketa tersebut. Serta harus menjelaskan kepada masyarakat keterlibatan keduanya dalam kasus ini,” ujarnya.
Menurut Rudini, selama persidangan di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, serta dalam proses penyelidikan di kepolisian, pihak tergugat. Pihak tergugat keluarga Nikolaus Naput dan Santosa Kadiman (Pemilik Hotel St Regis Labuan Bajo), selalu menjadikan Haji Ramang dan Muhamad Syair sebagai tameng utama mereka.
“Ini bukan sekadar sengketa tanah biasa, ini kejahatan luar biasa yang bisa merusak citra Labuan Bajo di mata dunia. Jika mereka benar-benar memiliki integritas, mereka harus berani tampil ke publik dan menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya,” tegas Rudini.
Ancaman Terhadap Investasi dan Pariwisata Labuan Bajo
Rudini juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa konflik berkepanjangan ini dapat berdampak buruk pada sektor investasi dan pariwisata di Labuan Bajo. Ia menilai, ketidakpastian hukum terkait kepemilikan tanah membuat investor ragu untuk menanamkan modal di wilayah ini.
“Efek domino dari konflik ini sangat besar. Labuan Bajo bisa kehilangan kepercayaan investor, ekonomi bisa tersendat, dan citra sebagai destinasi wisata super premium bisa tercoreng akibat ulah segelintir mafia tanah,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia menantang Haji Ramang dan Muhamad Syair untuk membuka kejelasan terkait dokumen surat alas hak tanah seluas 16 hektar di Keranga yang bertanggal 10 Maret 1990.
“Apakah dokumen itu asli atau palsu? Mengapa hanya berbentuk fotokopi? Lokasi pastinya di mana? Luas tanahnya sebenarnya 4 hektar atau 16 hektar? Ini harus dijelaskan secara terang-benderang,” desaknya.
Fungsionaris Adat Nggorang Harus Diganti
Desakan agar Fungsionaris Adat Nggorang bertanggung jawab juga datang dari Mikael Mensen, yang menilai bahwa jika Haji Ramang dan Muhamad Syair tidak mampu menyelesaikan konflik ini, maka keduanya harus digantikan.
“Jika mereka tidak bisa membela kepentingan masyarakat dan malah membiarkan mafia tanah berkeliaran, maka mereka tidak layak lagi menjadi Fungsionaris Adat. Harus ada pergantian! Ini harga mati,” ujar Mikael dengan tegas.
Ia juga menyoroti hasil investigasi Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI, yang menurutnya telah mengungkap adanya keterlibatan Fungsionaris Adat dalam sengketa tanah ini. Namun, hingga kini, Haji Ramang dan Muhamad Syair tetap memilih diam.
“Sejak awal persidangan di PN Labuan Bajo dari Januari hingga Oktober 2024, pihak tergugat selalu mengklaim mereka sebagai Fungsionaris Adat. Namun, mengapa mereka tidak berani menjadi saksi? Ini semakin menguatkan dugaan bahwa mereka bersembunyi dari kebenaran soal surat tanah tertanggal 10 Maret 1990 tersebut,” imbuhnya.
Mikael mengingatkan bahwa jika sengketa ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka dampaknya akan sangat merugikan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super premium
“Wisatawan dan investor akan berpikir dua kali untuk datang jika Labuan Bajo dikenal sebagai sarang mafia tanah dan pemalsu dokumen kepemilikan. Saatnya Bupati turun tangan dan menunjukkan kepemimpinan yang tegas dalam melindungi hak-hak masyarakat Manggarai Barat,” pungkasnya.
Sementara itu, Haji Ramang dan Muhamad Syair sebelumnya sudah pernah dilakukan konfirmasi oleh wartawan untuk dimintai keterangan terkait sengketa tanah Kerangan, namun pesan yang dikirim Via WhatsApp tidak direspon oleh keduanya. Pesan yang dikirim hanya dibaca saja dan Haji Ramang telah memblokir nomor wartawan sehingga sulit lagi untuk dikonfirmasi. (GD)