Curang Dalam Persfektif Syari’ah Serta Bahayanya

Curang Dalam Persfektif Syari’ah Serta Bahayanya

811 views
0
SHARE

Penulis: HAMMA,.S. Sy.  Advokat/Pengacara & Konsultan

Suara Indonesia News, Abu Hurairah,” salah satu sahabat Nabi yang dikenal dengan banyak riwayat hadis- pernah bercerita. Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati setumpuk makanan. Selanjutnya, beliau berinisiatif memasukkan tangan ke dalamnya.

Syahdah, beliau menyentuh atau mendapati sesuatu yang basah di dalamnya. Melihat kejadian ini, beliau bertanya:

مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟

“Wahai pemilik makanan! Apa ini?” Beliaupun menegurnya kenapa sesuatu yang basah itu tidak diletakkan di luar saja sehingga bisa dilihat oleh orang yang mau membelinya.

Dengan sangat tegas beliau menambahkan pernyataan:

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

“Siapa saja menipu (berbuat curang) maka dia bukan dari golonganku.” (HR Muslim)

Hadis tersebut mengandung pelajaran yang amat penting. Perbuatan penipuan, kecurangan yang merugikan orang adalah perbuatan yang tercela. Hal ini bukan saja terbatas masalah jual beli, tapi segala bentuk dan macam kekurangan.

Dalam bahasa Arab, kata “man” (siapa saja) menunjukkan pada keumuman. Artinya, siapa saja yang berbuat curang, menipu orang dalam berbagai bidang yang menyalahi koridor syariat, maka masuk dalam kategori bukan golongan nabi.

Bukan golongan Nabi, berarti akan dijauhkan dari rahmat Allah. Jauh dari rahmat Allah, berarti dijauhkan dari surga dan didekatkan kepada neraka. Karena itu, setiap muslim sudah seyogianya menjaga diri agar tidak berbuat curang.

Terlebih jika dirinya diberi amanah oleh orang banyak untuk melakukan tugas yang berdampak kepada orang banyak. Kecurangan semacam ini, dosa dan bahayanya jauh lebih besar. Apalagi, jika itu dilakukan bukan hanya oleh oknum, tapi sudah menjadi tradisi.

Dalam surah al-Muthaffifin ayat 1-3 orang yang berbuat curang ditegur dengan begitu keras. Ayat itu didahului dengan kata wail yang berarti celaka. Ada juga mufasir yang mengartikannya sebagai neraka Wail. Apapun itu maknanya, keduanya sama-sama bermakna ancaman kepada orang berbuat curang.

Kecurangan pada ayat itu bukan saja dilakukan oleh individu tapi sudah secara kolektif. Paling nyata adalah dalam dunia perniagaan yang mereka ketika kepentingan untuk diri sendiri, meminta ditambah. Tapi, giliran untuk orang lain, timbangan dikurangi. Orang semacam ini sungguh keji di hadapan Allah Ta’ala.

Kisah kaum Nabi Syu’aib adalah gambaran nyata bagaimana kecurangan sudah dilakukan secara kolektif. Dalam surah Hud [11] ayat 84 dan 85 misalnya, salah satu nasihat beliau kepada kaumnya jangan mengurangi takaran dan timbangan sebagai bentuk kecurangan yang mereka lakukan secara kolektif pada zaman itu.

Karena itulah Nabi Syu’aib mengingatkan agar menegakkan kembali prinsip keadilan, tidak merugikan hak orang lain, serta melarang mereka berbuat kejahatan atau kerusakan di muka bumi. Karena, apa yang dilakukan mereka berdampak negatif pada skala publik.

Ketika nasihat itu tak dihiraukan, malah semakin menjadi-jadi, maka kaum Nabi Syu’aib yang membangkan diazab oleh Allah Ta’ala. Sebagai sebuah gambaran bahwa kecurangan yang dilakukan secara kolektif, menyebabkan kerusakan yang kolektif pula bagi masyarakat.

Maka dari itu, berdasarkan beberapa nash di atas, bagi orang yang berniaga, atau diberi amanah untuk menjalankan tugas bagi orang banyak, harap berhati-hati. Kecurangan bisa menjadi menguntungkan secara pribadi dalam jangka pendek, namun akibat dari kecurangan itu akan berimbas ke masyarakat luas. Yang lebih parah lagi, orang-orang yang curang bukan bagian dari golongan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY