Suara Indonesia News – Jakarta, Menjelang Kongres Partai Amanat Nasional (PAN) yang bakal digelar pada awal tahun ini, konstelasi politik di internal partai berlambang matahari itu mulai menghangat.
Hal itu dipicu karena adanya persoalan cukup kompleks yang dihadapi PAN saat ini. Ada dua fenomena yang menarik yaitu antara kubu ambisi dan dinasti. Polarisasi kekuatan kedua kubu berpotensi konflik. Di satu pihak kubu ambisi dengan jargon ‘lanjutkan dua periode’.
“Kubu ini sebagai upaya mendobrak tradisi PAN selama ini Ketua Umum partai dibatasi hanya satu periode saja. Tradisi demokrasi yang bagus. Artinya kekuasaan sebaiknya dibatasi baik masa maupun rentang kendalinya. Penyakit kekuasaan yaitu power tend to corrupt but power absolutelly to corupt abolutelly,” ujar Direktur Eksekutif Center of Public policy Studies (CPPS ) STIAMI Jakarta Bambang Istianto kepada wartawan, Jumat (10/1/2020).
Sementara itu, kubu yang lain yaitu bahwa organisasi yang sehat perlu dilakukan penyegaran dan membutuhkan figur yang profesional dan memiliki kemampuan tidak hanya politik tetapi juga ekonomi dan wawasan global.
“Penyakit partai politik di Indonesia misalnya perilaku kecenderungan membangun dinasti, pragmatiisme dan politik uang. Dalam perjalanannya PAN juga tidak terhindarkan dari penyakit tersebut diatas.,” imbuh Bambang.
Lanjut Bambang, berdasarkan fenomena performance salah satu partai politik di Indonesia tersebut sulit berharap penegakan dan merawat demokrasi di Indonesia jika mengndalkan kepada partai politik yang sudah kehilangan fungsi dan perannya serta tata kelola partai yang masih buruk.
Padahal, kata Bambang, PAN dikenal partai modern yang di dalamnya berjibun kader partai yang intelektual. Namun sayang, usia sudah dua darsa warsa lebih kinerja partai dari pemilu ke pemilu jalannya terseok seok dan bahkan jalan di tempat. Perolehan suara hanya 6 atau 7 persen tidak lebih.
Seperti diketahui kelahiran PAN dibidani oleh tokoh dan elit Muhammadiyah ormas terbesar kedua setelah NU. Jika klaim massa ormas tersebut sebanyak 25 juta tentunya perolehan suara seharusnya minimal 9 atau 10 persen. Karena itu PAN posisinya terkejar oleh partai yang relatif baru seperti Nasdem dan Gerindra dan PKB.
“Jika dicermati dipastikan ada yang salah dalam tata kelola organisasi kepartaian. Misalnya variabel utama yakni intensitas hubungan tidak optimal dengan Muhamadiyah basis massa potensial sebagai konstituen setianya. Seperti dalam pemilu yang lalu PAN memperoleh suara 9,4 juta. Artinya PAN hanya mampu mengambil ceriuk dari massa Muhammadiyah 23, 5 persen saja,” kata Bambang.
Bambang mengungkapkan, seharusnya jika organisasinya sehat bisa mengambil 40 atau 50 persennya. Variabel lain sebagai kata kunci yang vital yaitu “manajemen”.
“Artinya partai ini secara empiristik tidak ada korelasi antara Kader yang pintar dan saleh dengan kinerja organisasi partai. Kelemahan terjadinya mis manajemen tersebut minimal ada tiga faktor yaitu kerjasama, komunikasi dan perilaku organisasi,” tutur Wakil Ketua Asosiasi ilmuan Administrasi Negara ini.
Oleh karena itu, dalam Kongres PAN mendatang, partai yang pernah disebut sebagai pelopor reformasi itu diuji kekompakan antar seluruh anggota kader dan simpatisannya. (Bambang Istianto)