Suara Indonesia News – Kota Cirebon. Tak terbantahkan, di ujung tahun 2020, fenomena sosial berupa peningkatan angka pengangguran yang berujung pada peningkatan kemiskinan melanda republik ini. Peningkatan itu diperparah lagi dengan munculnya bencana biologis berupa pandemik Covid 19 yang menurut catatan penulis merupakan bencana terbesar sepanjang sejarah republik yang sudah berusia 75 tahun, terhitung sejak Indonesia merdeka.
Carut marut berbagai persoalan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berakibat pada krisis karakter dan krisis moral ini, mengantar Indonesia pada indeks pembangunan manusia di titik rendah. Potensi Indonesia sebagai negeri zamrud khatulistiwa, dimana tongkat kayu jadi tanaman dan negeri yang *Gemah Ripah Lohjinawi*, begitu syair salah satu yang dinyanyikan grup band Koes plus, sudah tak pantas dan layak lagi kita sandang.
Kenapa? Karena para pemimpin di negeri ini lebih suka konsumtif (baca import) dari pada produktif (export). Mencintai produk dalam negeri, cuma sekadar lipservice belaka.
Yang paling kelihatan dan mudah dikerjakan saja, seperti kebutuhan gula dan garam yang sebenarnya kita punya potensi segalanya, malah sengaja diciptakan untuk terus menerus import. Para petani gula dan garam terdzolimi secara sistematis. Dan hebatnya, para pengambil kebijakan tega-teganya mengeruk keuntungan pribadi dan membiarkan para petani gula dan garam merana sepanjang zaman.
Para pengambil kebijakan bekerja seperti tidak pakai hati, apalagi hati hati, yang terjadi malah dilakukan dengan sesuka hatinya.
Para pengawas (legislatif) makin ompong, bahkan cenderung berkolaborasi untuk bersemangat import. Kenapa? Karena ada udang di balik batu. Ada berbagai untung di dalamnya. Bahkan arogansinya mereka lupa dengan kondisi saat ini, dimana sebagian masyarakat sedang berjuang menjerit mempertahan hidup dan mati di tengah multi krisis.
Sejenak penulis mengelus dada.
Hati mereka beku, kepekaan sosial hanya sebatas retorika belaka.
Yang terjadi mereka bergegas dan berlomba investasi menjelang pensiun atau menunggu habisnya rezim, karena hampir pasti mereka tidak akan dipakai lagi. Mereka tak perduli dengan tudingan menghianati rakyat. Mereka tidak berpikir dan bertindak hati-hati, bahkan cenderung bersikap sesuka hatinya.
Mereka tak punya waktu untuk mendengar rakyat korban pendataan, sehingga tidak tersentuh bantuan sosial. Yang dipikirkan mereka hanya fee dan cash back dari kebijakan yang mereka buat sendiri.
Dalam kondisi begini, sebelum kena tulah alias sial ketangkap KPK, alangkah indahnya bila para tokoh masyarakat termasuk para ulama dan Umaroh melakukan gerakan nasional ‘nasi bungkus’.
Saatnya kita bersatu turun gunung, satukan persepsi dan satukan langkah utk mengentaskan kesusahan ekonomi di lingkungan terdekat masing masing.
Ekonomi Nasional dalam keadaan darurat. Jangan lagi nunggu . Ayo kita bergerak sekarang juga, Semoga Allah segera memberikan yg terbaik untuk seisi negeri ini.
(Djodjo Sutardjo / Pegiat Sosial & Akademisi Universitas Nadhotul Ulama)