Suara Indonesia News – Banda Aceh, Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) ditetapkan setiap tanggal 10 Agustus, merupakan upaya untuk menjaga kesinambungan kegiatan konservasi alam, mengedukasilan kepada masyarakat dan menjadikan konservasi alam sebagai bagian dari sikap hidup dan budaya bangsa Indonesia yang harus selalu menjaga keseimbangan alam.
Lingkungan sebagai suatu biosfer (ruang kehidupan), sangat menentukan eksistensi makhluk hidup yang berada di dalamnya. Makhluk hidup yang beranekaragam, termasuk manusia, mempunyai tingkat adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang berbeda-beda, sebab setiap makhluk hidup mempunyai tingkat kerentanan dan kemampuan yang tidak sama dalam merespons perubahan di lingkungannya.
Karena setiap makhluk hidup mempunyai tingkat kerentanan dan kemampuan untuk bertahan hidup di alam bermacam-macam, maka upaya konservasi sangatlah diperlukan untuk menjaga agar makhluk hidup tidak mengalami kepunahan. Konservasi dapat dilakukan dengan menciptakan Taman Nasional atau Hutan Lindung.
Namun dibalik fakta konservasi, banyak manusia yang nakal dan tidak menaati aturan bahkan tidak mengetahui spesies apa saja yang hampir punah. Seperti kasus penembakan 74 peluru senapan angin oleh remaja asal Aceh kepada orangutan yang bernama Hope pada bulan Maret 2019 silam. Pelaku penembakan dinyatakan sebagai anak yang masih dibawah umur dan tidak mengetahui orangutan adalah hewan yang dilindungi dan hampir punah.
Menanggapi tentang konservasi alam dan pengedukasian kepada masyarakat, Mauriza Apriansyah selaku Ketua Himpunan Mahasiswa Biologi Sains (HIMABIOS) UIN Ar-Raniry menghimbau kepada Pemerintah untuk memperluas dan mendukung upaya edukasi terhadap masyarakat, karena menurutnya masih banyak masyarakat Aceh yang kurang mengetahui tentang bahaya kepunahan dan bisa berakibat fatal untuk keseimbangan ekosistem.
“Upaya mengedukasikan kepada masyarakat sangat penting kita lakukan, supaya kasus penembakan terhadap hewan langka tidak lagi terjadi. Mereka (pelaku) tidak mengetahui hal itu, padahal orangutan adalah spesies yang hampir punah di Indonesia. Bayangkan jika hewan-hewan banyak mengalami kepunahan, kita tidak akan bisa mempelajari lagi hewan yang punah tersebut selamanya.” Ujar beliau kepada awak media.
Terkait konservasi, Sekretaris Jenderal HIMABIOS, Desy Nurrahma Dhani ikut menanggapi wacana tentang pembangunan Ibu Kota Indonesia di Kalimantan yang dikabarkan tidak akan merusak hutan karena mengusung konsep City in the Forest.
“Kami rasa pembangunan Ibu Kota baru merupakan sebuah hal yang bagus, karena mengingat pemindahan Ibu Kota Indonesia juga untuk mengurangi beban yang selama ini ditanggung oleh DKI Jakarta dan Pulau Jawa yang akrab dengan kemacetan yang luar biasa. Tapi perlu digaris bawahi, pembangunan Ibu Kota di Kalimantan dengan konsep City in the Forest juga perlu kita waspadai lagi dampaknya dan upaya yang harus dilakukan untuk terus menjaga kelestarian hutan Kalimantan.” Tandasnya, Sabtu (10/08/2019).
Setelah itu, Sulthan Alfaraby selaku Wakil Ketua HIMABIOS juga ikut menanggapi terkait pentingnya konservasi alam dan wacana pembangunan Ibu Kota baru, beliau menghimbau kepada Pemerintah di Indonesia agar berhati-hati dalam melakukan pembangunan dan jangan semerta-merta untuk kepentingan korporat.
“Kami prihatin, jika pembangunan semena-mena di Nusantara terus berlanjut, itu artinya kerusakan akan terus berjalan. Ribuan pohon ditebang demi kepentingan korporat yang katanya sudah memenuhi izin, izin apa? Bahkan di Indonesia wilayah yang termasuk dalam konservasi juga rusak, dampaknya sangat besar dan korban berjatuhan, apakah itu bagian dari izin? Saya rasa mereka (korporat) itu bermain, mereka tidak tau apa dampak yang akan terjadi akibat keserakahan mereka nanti. Kami minta kepada Pemerintah selaku pemegang kekuasaan, agar jangan menyalahgunakan mandatnya, ini demi bumi kita bersama. Jika pembangunan Ibu Kota nanti memperparah dan merusak lingkungan, dikhawatirkan akan ada bencana alam sebagai timbal balik akibat ulah kita sendiri, saya mengingatkan.” Ujar beliau. (Nanda)