Kakanwil Kemenag Sulbar Mengikuti Webinar Diseminasi Buku Gratifikasi Dalam Perspektif Agama

Kakanwil Kemenag Sulbar Mengikuti Webinar Diseminasi Buku Gratifikasi Dalam Perspektif Agama

271 views
0
SHARE

Suara Indonesia News – Mamuju. Kepala Kantor wilayah Kementerian agama Sulawesi barat, Bapak Dr. H.M Muflih B, Fattah MM. mengikuti kegiatan webinar secara online diseminasi buku gratifikasi dalam perspektif agama yang dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI, dimana Kegiatan tersebut juga diikuti oleh jajaran Kanwil Kemenag Sulbar melalui channel Youtube. Rabu 08/07/2020

Sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut Wakil Menteri Agama RI, Drs. H. Zainut Tauhid Sa’adi, M.Si, Komisioner KPK Dr. Nurul Ghufron, SH,.MH, Koordinator Program Pengendalian Gratifikasi KPK Sugiarto, Plt. Itjen Kemenag RI Muhammad Thambrin, Dirjen Bimas Islam Prof. Dr. Kamaruddin Amin, Dirjen Bimas Kirsten Prof. Dr. Thomas Penturi, Plt. Dirjen Bimas Katholik Dr. Aloma Sarumaha, Dirjen Bimas Buddha Dr. Caliadi, dan Plt. Dirjen Bimas Hindu I Made Sutresna dengan Host Nurul Badruttamam.

Kegiatan webinar diikuti oleh 500 peserta sesuai dengan quota. Namun banyak ASN Kemenag yang menyimak kegiatan tersebut dengan melalui Youtube Channel Kanal KPK. Tercatat 480 pengguna Youtube yang mengakses kegiatan tersebut.

Wakil Menteri Agama RI, Zainut Tauhid Sa’adi dalam arahannya mengatakan Kementerian Agama fokus pada lima program prioritas Kemenag RI 2019-2020 yakni, Pemberantasan Korupsi, Peningkatan Kualitas Haji Dan Pembenahan Umrah, Pembenahan Pendidikan Keagamaan, Deradikalisasi dan  Penguatan Moderasi, serta Sertifikasi Halal.

Wamenag mengatakan, Kemenag mendukung penuh pelaksanaan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bentuk dukungan yang dimaksud adalah terjalinnya kerjasama antara KPK dan Kemenag dalam menyusun buku Gratifikasi Dalam Perspektif Agama di Indonesia.

“Buku tersebut menjadi upaya peningkatan pemahaman tentang gratifikasi bagi penyelenggara negara, ASN, unit pengendalian gratifikasi dan masyarakat secara luas. Sebagai tindak lanjut hari ini dilaksanakan kegiatan webinar diseminasi buku tersebut. Kegiatan tersebut sebagai upaya penyebarluasan pemahaman tentang pengendalian gratifikasi dari perspektif agama di Indonesia. Mari kita jadikan momentum ini untuk memperkuat kinerja Kemenag yang lebih berintegritas sesuai dengan nilai-nilai agama, moral dan etika” Ucap Zainut Tauhid Sa’adi.

Kegiatan tersebut, menurut Wamenag menjadi upaya mewujudkan pemberantasan korupsi yang mengarah pada clean government.

“Tugas Kemenag membantu presiden dalam membangun masyarakat dalam bidang agama khususnya dalam menjaga moral dan etika bangsa dan negara. Kita harus sadar peran pentingnya agama dalam bernegara, termasuk peran para pemuka agama, pembimbing masyarakat dan penyuluh agama dalam upaya pengendalian gratifikasi di lingkungan Kemenag” Jelas Wamenag.

Langkah ini wajib didukung oleh aparatur Kemenag yang menurut Wamenag ditandai dengan tidak melakukan pelayanan yang berlebihan dan atau memberikan sesuatu pemberian dalam bentuk uang, barang atau fasilitas yang dapat berpotensi menimbulkan benturan kepentingan, senantiasa menolak pemberian gratifikasi yang dilarang, dan tidak menggunakan fasilitas negara di luar aktivitas kedinasan, serta berusaha menjadi contoh yang baik bagi masyarakat dengan dengan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tugas dan kewajiban kita.

“Saya minta kepada saudara selaku pimpinan satuan kerja di lingkungan Kemenag untuk melakukan diseminasi dan sosialisasi agar tidak menerima gratifikasi baik berupa parsel, bingkisan, uang, fasilitas dan pemberian lainnya yang berkaitan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Pengendalian gratifikasi sangat penting, oleh karena itu Kemenag telah menerbitkan PMA No. 34 Tahun 2019 tentang pengendalian gratifikasi di Kemenag,” ujar Wamenag.

Dalam PMA Nomor 34 Tahun 2019 diatur bahwa ASN Kemenag wajib menolak gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan kegiatan Diseminasi Buku “Gratifikasi dalam Perspektif Agama” ini merupakan sarana penyebarluasan kesadaran tentang pengendalian gratifikasi dari perspektif agama-agama di Indonesia.

“Mari kita jadikan momentum yang baik ini untuk memperkuat realisasi program kerja Kementerian Agama agar lebih berintegritas, menjunjung nilai-nilai ajaran agama, moral dan etika, khususnya dalam mendukung program pemberantasan korupsi agar terwujud pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan/birokrasi yang bersih (clean government,” kata Wamenag.

Menurut Zainut Tauhid, pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah hal penting, bersifat imanen, dan mesti terinternalisasi oleh setiap pejabat dan penyelenggara, termasuk ASN di lingkungan Kementerian Agama RI dalam melaksanakan setiap program di periode Kabinet Indonesia Maju.

“Tidak korupsi semestinya hadir bukan hanya pada perbuatan, melainkan sejak dari pikiran kita,” kata Wamenag.

Ia menambahkan, sebagai upaya pencegahan korupsi, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kementerian Agama bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyusun buku gratifikasi dalam perspektif agama-agama di Indonesia.

“Buku ini menjadi bagian dari upaya peningkatan pemahaman tentang gratifikasi kepada Penyelenggara Negara/Aparatur Sipil Negara (ASN), Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) dan masyarakat umum,” tandas Zainut Tauhid.

Salah satu fungsi Kementerian Agama, lanjut Wamenag, yakni membantu Presiden dalam membangun masyarakat melalui bidang agama. Kementerian Agama juga berperan sebagai penjaga moral dan etika bangsa, karena itu kita yang berada di lingkungan Kementerian Agama harus sadar pentingnya peran agama dalam bernegara. Termasuk peran pemuka agama, pembimbing masyarakat, dan penyuluh agama dalam upaya pengendalian gratifikasi di lingkungan Kementerian Agama.

Langkah ini wajib dan harus didukung oleh Aparatur Sipil Negara pada Kementerian Agama yang diwujudkan dengan tiga upaya. Pertama, tidak melakukan pelayanan berlebihan dan/atau memberikan suatu pemberian dalam bentuk uang, barang, atau fasilitas yang dapat berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.

Kedua, senantiasa menolak pemberian gratifikasi yang dilarang serta tidak menggunakan fasilitas dinas di luar aktifitas kedinasan. “Dan ketiga, berusaha menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dengan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tugas dan kewajiban. Demi menjaga nilai-nilai ajaran agama, moral dan etika,” kata Zainut.

Sementara itu Komisioner KPK Dr. Nurul Ghufron, SH,.MH dalam arahannya mengatakan buku Gratifikasi Dalam Perspektif Agama dapat memberikan kepastian definisi antara gratifikasi, suap, hadiah, infaq dan sedekah.

“KPK sangat senang dengan terbitnya buku tersebut. Karena akhirnya terdapat satu definisi yang sama dimana agama-agama di Indonesia tidak membenarkan praktek gratifikasi dan dapat dilakukan sosialisasi. Saat ini antara hadiah, suap dan gratifikasi seakan-akan disamakan,” tegas Nurul Ghufron.

“Buku ini diharapkan mampu memberikan definisi yang jelas apa perbedaan antara hadiah, gratifikasi, suap, infaq dan sedekah. Buku ini akan memberikan benang merah perbedaan tersebut. Hadiah, infaq dan sedekah bahkan jual beli dibenarkan namun tidak ada kaitannya dengan jabatan tertentu,” jelasnya.

Dia menjelaskan hadiah, infaq dan sedekah diberikan tanpa adanya beban dan kepentingan yang menyertainya terutama oleh jabatan seseorang atau kepentingan lainnya.

“Yang tidak boleh adalah pemberian kepada pejabat yang di dalamnya terdapat harapan agar pejabat tertentu berbuat atau tidak berbuat sesuai harapan sang pemberi dan itu dinamakan gratifikasi. Tidak boleh anak buah bersedekah kepada atasan, karena dikhawatirkan akan adanya kepentingan yang menyertainya. Pemberian hadiah diberikan kepada orang yang lebih miskin dan dalam konteks tertentu seperti ulang tahun dan lain-lain,” sebutnya.

Nurul Ghufron menjelaskan saat ini juga marak bentuk gratifikasi dalam bentuk investasi supaya ada pengaruh terhadap suatu urusan tertentu. “Saya juga ingin menekankan bahwa pegawai pemerintah dilarang menerima upah terhadap pekerjaan yang sudah menjadi tupoksinya. Sebagai contoh saya sebagai komisioner KPK tidak dibenarkan menerima upah ketika memberikan materi terkait dengan tugas dan jabatan saya, karena itu memang pekerjaan saya,” sebutnya lagi.

“Buku ini akan mencerahkan bukan saja secara hukum namun juga secara sosiologi karena berisi perspektif gratifikasi dalam sudut pandang agama-agama yang ada di Indonesia. Memberikan pencerahan yang terukur, bahwa gratifikasi itu dilarang, hadiah itu boleh, infaq dan sedekah itu boleh.  Dan saya bersyukur akhirnya kita sepakat bahwa semua agama-agama di Indonesia melarang praktek gratifikasi”Tutupnya. (Hamma)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY